13 Kekuatan Malaikat Istimewa

Friday, November 24, 2006

“Jaune, Ayah belum memberitahukan sesuatu kepadamu,” lanjut Ayah lagi.

“Tentu saja. Ayah kan memang belum mengatakan kepadaku apa yang harus kulakukan.”

“Bukan itu.”

Tiba-tiba Nero menyahut, “Pasti mengenai kekuatan Jaune ya, Ayah?!”

Belum sempat Ayah menjawab, Jaune sudah mendahului, “Kekuatanku? Kekuatan apa?”

“Kekuatan seperti yang dimiliki oleh malaikat istimewa.”

“Memangnya ada malaikat yang seperti itu ya, Ayah?!”

“Itulah dirimu, dan beberapa malaikat lain. Malaikat-malaikat istimewa seperti kalian ini memiliki satu kekuatan yang tidak dimiliki malaikat lain.”

“Wah...” wajah Jaune cerah seketika. “Kekuatan apa yang aku punya itu, Ayah?”

“Pertama, kau bisa membuat dirimu terlihat oleh manusia.”

“Wah... aku bisa dilihat oleh mereka? Manusia pasti senang melihat aku memiliki sayap, yang tidak mereka punyai.”

Ayah menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Tidak. Mereka tidak akan melihatmu sebagai seorang malaikat, mereka akan melihatmu sama seperti manusia lain. Pakaianmu akan sama seperti mereka, rambutmu, badanmu, semuanya akan sama. Sehingga kau tidak akan ada bedanya dengan manusia lain.”

“Jadi, mereka tidak bisa melihat sayapku. Begitu?”

“Ya.”

“Tapi, aku tetap bisa terbang kan, Ayah ?”

“Itu juga tidak. Selama kau menjadi manusia, kau akan menjadi sama seperti mereka. Tidak bisa terbang, tidak bersayap, tidak berjubah. Tapi kau tetap bisa mengetahui apa yang mereka rasakan dan pikirkan, seperti sekarang ini.”

Jaune berdiri. Mengangkat bahunya dan menghela napas, “Pasti akan membosankan.”

“Tidak. Kau akan menikmatinya,” sahut Ayah sambil tersenyum.

Jaune menggeleng, lagi-lagi mengangkat bahunya, “Tidak tahulah, Ayah.”

“Kekuatan yang lain lagi mungkin akan membuatmu tertarik untuk menikmati tugasmu.”

Mata Jaune terbelalak. Mendadak senang.

“Waahh... kekuatan apa lagi, Ayah?”

“Setan-setan yang mengganggumu bisa kau kalahkan dengan mudah, karena kau punya tenaga listrik yang luar biasa.”

“Apa itu tenaga listrik?”

“Tenaga listrik itu seperti ini,” jawab Ayah lalu meraih tangan Jaune perlahan.

Seketika itu pula Jaune merasakan getaran yang merambati tangannya, semula terasa menggelitik, namun lama-kelamaan membuatnya pusing dan terasa sakit.

Segeralah ia menarik kembali tangannya dari genggaman Ayah.

“Baiklah... aku... mengerti.”

Ayah tertawa melihat wajah Jaune.

“Itulah yang bisa terjadi kalau kau tidak berhati-hati menggunakan kekuatanmu. Kau bisa melukai dirimu sendiri.”

Jaune yang masih berusaha mengembalikan kesadarannya pun mencoba bertanya, “Kalau begitu, aku masih bisa menggunakan kekuatan seperti malaikat lain kan, Ayah?!”

“Maksudmu...?”

“Ya... karena aku rasa aku belum akan menggunakan tenaga listrik itu. Kalau salah, malah aku yang akan merasa sakit.”

Lagi-lagi Ayah tertawa.

“Tentu saja. Kau tetap memiliki kekuatan seperti malaikat lain. Kau bisa mengetahui apa yang dipikirkan manusia, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka rasakan. Kau juga selalu mengatakan kebenaran. Dan kau juga pandai berkelahi tentunya.”

“Ah, Ayah pasti berbohong!”

“Mengapa Ayah harus berbohong?”

“Buktinya... Aku tidak pernah menang jika berkelahi dengan Gai atau Gros?!”

Ayah tertawa lagi.

“Tentu saja! Kalian kan sesama malaikat. Ini hanya berlaku untuk melawan setan.”

12 Berdebar Seperti Buah Tomat

Tuesday, November 14, 2006

“NERO, kau tahu tidak, bahwa mulai besok aku akan bertugas?” tanya Jaune kepada Nero, yang hampir terlelap.

Nero tidak sanggup menjawab pertanyaan Jaune. Ia sudah terlalu mengantuk.

“Ah, Nero! Kenapa kau diam saja?” Jaune menghampiri Nero yang tengah berbaring di atas tempat tidur.

Jaune mengguncang-guncangkan tubuh Nero, namun Nero tidak juga bereaksi. Ia tahu, apa yang akan dibicarakan Jaune bisa membuatnya tidak tidur. Jaune akan bercerita panjang-lebar dan tidak akan bisa dihentikan. Oleh karena itulah, ia memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar Jaune.

Nero menutup matanya.

Namun ia lupa bahwa Jaune tahu kepura-puraannya. Bahwa Jaune tahu kalau ia sengaja menutup mata untuk menghindari percakapan mereka.

Jaune pun tersenyum.

Perlahan ditariknya sayap Nero. Ia tahu betul dengan begitu Nero akan segera bangun, karena Nero memang paling tidak suka jika ada yang menggunakan sayapnya untuk bermain-main.

Semula Nero pura-pura tidak peduli dengan apa yang dilakukan Jaune. Lama-kelamaan, ia tidak tahan juga. Ia tidak suka Jaune memainkan sayapnya, karena membuat sayapnya menjadi gatal.

Seketika itu, Nero merentangkan sayapnya dan berdiri menatap Jaune.

“Bukankah aku sudah pernah mengatakan padamu kalau aku tidak suka jika ada yang memainkan sayapku??”

“Iya, kau pernah mengatakannya.”

“Lalu, mengapa kau masih melakukannya juga?”

“Karena aku juga tidak suka melihatmu pura-pura tidur seperti itu.”

Nero diam saja. Ia masih jengkel, tapi sekaligus merasa bersalah karena telah melakukannya. Karena telah sengaja membiarkan Jaune berpikir bahwa ia sedang tidur.

“Nero, aku ingin kau mendengarkanku. Sebentaaarr saja,” lanjut Jaune.

“Jaune, aku sudah seharian ini bertugas, dan aku lelah sekali. Aku ingin tidur. Mengapa kau tidak meminta Gai atau Gros untuk mendengarkan ceritamu? Atau kau juga bisa bicara pada Ayah, kan?!”

Jaune menggelengkan kepalanya, “Gai dan Gros pasti sudah tidur. Dan aku tidak ingin mengganggu Ayah, karena Ayah pasti sedang sibuk.”

Nero kembali merasa kesal, “Kalau begitu, kenapa kau mau menggangguku?”

Jaune duduk mendekat, “Aku tidak mengganggumu, Nero. Aku hanya ingin kau mendengarkanku,” ujarnya.

Nero tidak menjawab, masih kesal. Dan membuat Jaune akhirnya terdiam dan tiba-tiba ingin menangis.

Tak lama, matanya pun mulai berair dan napasnya mulai tersendat. Nero yang menyadari hal itu segera mendekatkan diri pada Jaune.

“Baiklah... baiklah... apa yang ingin kau ceritakan? Aku akan mendengarkanmu.”

Masih berusaha menata kembali napasnya, Jaune pun mengusap air mata yang mulai meleleh di pipi.

“Nero, kata Ayah, aku besok mulai bertugas. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Kau harus menolong manusia.”

“Bagaimana caranya?”

“Kau harus membantu mereka untuk memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi. Caranya, dengan memberitahu apa yang harus mereka lakukan.”

“Seperti Gros?”

“Ya, seperti yang dilakukan oleh Gros?”

“Bagaimana kalau aku memberitahu manusia untuk melakukan sesuatu yang jahat?”

“Jaune, kita adalah malaikat. Ayah yang menciptakan kita. Kita tidak mungkin mengatakan sesuatu yang jahat.”

“Tapi, jika memang aku mengatakannya tanpa sengaja, bagaimana?”

“Tidak. Malaikat tidak akan mungkin melakukannya.”

Jaune menghela napasnya. Ia masih belum mengerti. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan pada tugasnya esok.

Ia memang pernah melihat Gros berbisik kepada Bob, memberitahukannya apa yang harus dilakukan. Namun, kata-kata Gros sepertinya tidak didengarkan oleh Bob. Karena itulah, maka seekor anjing yang galak mengejar Bob dalam perjalanan pulangnya.

“Tapi aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Sudahlah, Jaune. Tidak usah pusing dan bingung memikirkannya. Karena semakin kau berpikir keras tentang hal ini, kau akan semakin tidak mengerti.”

Mereka berdua pun menolehkan kepala ke arah pintu. Terkejut saat tiba-tiba terdengar pintu dibuka, dan muncullah Ayah dari sana.

“Apa yang dikatakan Nero benar, Jaune. Kau hanya perlu melakukan tugasmu. Tidak perlu memusingkan diri dengan hal itu.”

Jaune diam saja. Ia ingin sekali menyetujui yang dikatakan Ayah. Tapi ia masih tidak mengerti.

“Apa yang akan kau katakan kepada manusia adalah hal baik,” lanjut Ayah.

“Selalu?”

“Selalu.”

Jawaban Ayah tampaknya belum cukup membantu Jaune untuk menguraikan kebingungannya. Namun ia tidak ingin Ayah melihatnya seperti itu. Ia berusaha untuk tetap tenang, sekalipun usaha untuk menyembunyikan pun tetap sia-sia.

Dan Ayah tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum saat melihat dahi Jaune berkerut dan kedua sudut bibir yang ditarik. Membuat kedua pipinya yang bersemu merah tampak menggembung seperti buah tomat.

11 Die Monnd yang Gagah Berani

Friday, November 10, 2006

Tiba-tiba saja Jaune merasa rambut-rambut kecil di tengkuknya berdiri.

“Kalau begitu, aku tidak mau berbuat buruk ah! Aku ingin wajahku tetap seperti ini.”

Ayah tertawa, lalu memeluk Jaune, “Jadi, besok kau akan bertugas, kan?!”

“Iya, Ayah,” jawab Jaune dengan yakinnya.

Namun, belum juga Jaune selesai menghembuskan napas, keraguan kembali terpancar dari wajahnya. Dan Ayah menyadarinya.

Ayah membimbing Jaune kembali ke kamar.

“Jaune, Ayah akan membantumu.”

“Bagaimana caranya?”

“Karena itulah ada gambar Gros dan Bob di layar tadi. Gambarmu juga akan muncul di sana, seperti semua malaikat yang sedang bertugas. Melalui layar itu, Ayah tahu di mana kau berada, kesulitan apa yang sedang kau hadapi. Dengan begitu, Ayah akan tahu bagaimana membantumu.”

“Jadi Ayah akan selalu membantuku?”

“Tentu saja tidak. Ada saat di mana kau akan berjuang sendiri. Karena suatu hari nanti, Ayah hanya akan duduk di depan layar untuk melihat saja tanpa harus membantumu. Suatu saat ketika kau sudah cukup dewasa.”

Jaune menghela napasnya. Panjang. Kemuraman belum juga terangkat dari wajahnya.

Masih begitu banyak yang ingin ia tanyakan kepada Ayah. Masih terlalu banyak yang ada di kepalanya. Tapi ia memilih untuk mengangguk saja.

Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Ayah pasti benar. Dan ia mempercayainya.

“Baiklah, Ayah.”

Dan ia pun meninggalkan Ayah sendiri di kamarnya. Ayah memandangi kepergian Jaune dengan tersenyum.

Ia sudah dewasa.

• • •



Sementara itu, jauh di dalam kegelapan sana...

Cruella tengah mengamati pembicaraan Ayah dengan Jaune dari layar. Ia tertawa-tawa dengan keras. “Ini dia musuhmu, Die Monnd!” katanya seraya tertawa-tawa.

Die Monnd memandangi layar dan Cruella secara bergantian. Ia heran.

“Malaikat kecil itukah musuhku? Jangan main-main, Cruella! Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatanku! Pasti akan sangat mudah mengalahkannya! Untuk apa aku membuang-buang tenaga dan waktu hanya untuk... huh... malaikat kecil itu?” Die Monnd mencibir.

Cruella membalikkan badannya gusar, “Jangan salah! Jaune tidak sebodoh yang kau bayangkan!”

“Bagaimana mungkin kau berkata seperti itu, Cruella? Lihat dia! Dia hanya malaikat kecil yang baru saja lahir. Dia bahkan tidak tahu apa tugasnya! Bahkan bagaimana harus terbang saja, mungkin ia harus menanyakan kepada yang lainnya.”

“Terbang? Tentu saja dia tahu! Kalau perkara sekecil itu saja ia tidak tahu, tidak mungkin Ayah memberinya sayap di usia enam tahun. Bahkan, Gai dan Gros baru diberikan sayap pada usia delapan tahun,” ujar Cruella, mencoba menahan rasa kesalnya.

Die Monnd semakin tidak terima, “Apa bedanya? Berapa pun usia mereka saat memiliki sayap, semuanya sama saja. Lagi pula apa guna sayap itu, Cruella? Kita dapat terbang tanpa menggunakan sayap seperti mereka. Tahukah kau mengapa? Karena kita tidak bodoh seperti semua malaikat itu! Dan Jaune adalah malaikat, maka ia pasti sama bodohnya!”

“Kalau memang kau dapat mengalahkannya dengan mudah, tunjukkan kepadaku! Jangan hanya besar mulutmu saja!”

Die Monnd tertawa, “Jangan bodoh, Cruella! Kau akan jadi tidak ada bedanya dengan mereka. Besok aku pasti akan mengalahkannya! Aku bahkan bisa membawanya kepadamu kalau kau mau.”

Kali ini gantian Cruella yang tertawa. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Die Monnd.

“Kau? Akan membawa Jaune kemari?”

Die Monnd tersinggung. Ia semakin kesal karena merasa Cruella malahan membela lawannya, dan bukan berpihak padanya.

“Sudahlah! Siapkan saja hadiah terbaikmu, Cruella. Aku akan membawanya kemari.”

“Jangan lupa, Die Monnd. Jaune tidak sama seperti malaikat lain. Pasti ada sesuatu yang diberikan Ayah kepadanya.”

“Maksudmu?”

“Ayah pasti memberikan keistimewaan kepadanya. Mungkin Jaune dapat mengeluarkan sengatan listrik, atau bisa membagi diri menjadi banyak, atau bisa menyerang tanpa terlihat olehmu, atau kekuatan-kekuatan lain seperti yang dimiliki Ayah.”

Die Monnd mengangkat bahunya, “Yah... dia tetap saja malaikat kecil, Cruella. Dia hanya anak kecil!”

“Aku sudah mengatakannya kepadamu. Kalau kau tidak sanggup, akan kuserahkan pada Lie Blizzt.”

Kemarahan Die Monnd kembali tersulut. Ia meludah, “Jangan kau remehkan aku! Kekuatan Lie Blizzt tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku!”

“Tapi dia memiliki kekuatan ajaib yang mungkin bisa...”

“Ah sudahlah!” sela Die Monnd. “Apa sih gunanya kekuatan seperti itu? Kalau toh Jaune memilikinya, aku yakin bahwa dia tidak akan bisa menggunakannya!”

Cruella tersenyum. Ia membalikkan badannya, memunggungi Die Monnd.

“Terserahlah! Tapi jika besok kau gagal, Lie Blizzt akan menggantikanmu.”

“Kau akan melihatnya, Cruella!!” seru Die Monnd seraya pergi dari situ, meninggalkan Cruella seorang diri.

Cruella memperhatikan Die Monnd pergi meninggalkannya. Cruella menghela napasnya, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tidak, Die Monnd tidak akan dapat mengalahkan Jaune. Bahkan, mungkin aku pun tidak akan sanggup mengalahkan malaikat kecil itu.

10 Wajah Buruk Setan

Sunday, November 05, 2006

“Wah... bagaimana cara Ayah mengingatnya? Pasti sulit sekali!”

“Ayah bisa melakukannya. Terlebih, karena mereka semua membantu Ayah,” ujar Ayah sambil menolehkan kepala, memperhatikan setiap orang yang tengah bekerja di sana.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka menyahut, “Namun sebenarnya tanpa bantuan dari kami pun, Ayah tetap bisa melakukan semuanya sendiri. Iya kan, Ayah?!”

Ayah hanya tersenyum.

“Karena itulah, Ayah dapat melihat apa yang tadi terjadi saat kalian berusaha membantu Bob.”

“Ooohhh...” sahut Jaune.

Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, “Ayah, tadi ada makhluk hijau yang mengerikan sekali. Wajahnya jelek, tubuhnya aneh, dan suaranya mengerikan sekali. Apa itu, Ayah?”

“Itulah yang hendak Ayah beritahukan kepadamu, Jaune,” jawab Ayah.

“Makhluk hijau yang kau lihat tadi bernama Luke. Ia berasal dari kawanan setan, yang adalah musuh kita. Luke hanyalah salah satu dari sekian banyak setan-setan lain. Karena saat itu yang sedang berusaha membantu Bob adalah Gros, maka setan yang muncul adalah Luke. Luke adalah musuh utama Gros.”

“Jelek sekali wajahnya, Ayah!”

“Memang seperti itulah wajah kaum setan. Tapi, mereka bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka mau. Kalau Luke ingin mengubah dirinya menjadi seorang pria tampan, ia bisa melakukannya. Ia bahkan bisa mengubah diri agar tampak seperti Ibu Bob.”

“Lalu, mengapa ia tidak melakukannya tadi?”

“Biasanya, Luke hanya akan mengubah dirinya jika ia sedang ingin menggoda atau mengelabui manusia. Mungkin ia memang sedang tidak ingin melakukannya.”

“Wah... sulit ya ternyata menjadi manusia?!”

Ayah tersenyum melihat tingkah Jaune bak orang dewasa.

“Apakah setiap malaikat punya musuh sendiri-sendiri, Ayah ?”

“Iya.”

“Gai juga?”

“Ya. Termasuk Gai. Ia memiliki musuh bernama Zhee Thanh. Mungkin suatu kali kau akan sempat bertemu dan melihatnya. Dan mungkin juga ia akan membuatmu lebih terkejut daripada saat bertemu Luke tadi.”

“Memangnya kenapa?”

“Zhee terlihat lebih menyeramkan dari Luke. Sama-sama berwarna hijau, tapi badan Zhee selalu dipenuhi dengan lendir. Wajahnya buruk sekali. Ia hanya mempunyai satu mata, yang letaknya bersebelahan dengan hidungnya yang besar dan lebar. Lidahnya yang berwarna hitam selalu terjulur keluar.”

Tiba-tiba saja Jaune merinding, merasa ngeri membayangkannya, “Pasti jelek sekali ya, Ayah?!”

“Yah...”

“Ih, apa yang akan dilakukan Gai jika bertemu dengannya ya? Kalau Zhee itu musuhku, rasanya akan sulit sekali melawannya. Aku pasti selalu terkejut jika ia tiba-tiba muncul di dekatku, dengan satu matanya itu!”

Ayah tersenyum lagi, “Karena itulah dia bukan musuhmu. Memang sudah menjadi tugas Gai untuk melawannya. Dan Gai bisa mengatasi Zhee, walaupun tidak selalu berhasil.”

“Kalau begitu, aku juga mempunyai musuh sendiri ya, Ayah?”

Ayah menghela napasnya, “Ya. Kau pun mempunyai musuh, sama seperti Gros dan Gai.”

Tiba-tiba, tubuh Jaune menggigil, “Apakah jelek juga seperti Luke dan Zhee?”

“Mungkin akan lebih buruk.”

Tanpa disadari, Jaune mengangkat kedua bahunya. Dahinya juga berkerut, dan bibirnya menguncup, membentuk sudut yang lucu, “Apakah aku akan bisa melawannya?”

“Tentu saja.”

“Seperti apa rupanya, Ayah? Apakah mempunyai mata? Apakah warna tubuhnya? Bagaimana suaranya?”

Ayah terkekeh geli, “Jaune, Ayah tidak akan memberitahukan kepadamu. Kau harus melihatnya sendiri.”

“Tapi, jika aku tidak dapat melawannya, bagaimana Ayah? Pasti dia lebih besar dariku.”

Ayah tersenyum, “Tidak. Musuhmu tidak mungkin lebih besar darimu. Paling tidak, ukuran tubuhnya sama denganmu, atau lebih kecil.”

Jaune terdiam.

Ia berpikir sejenak, “Ayah... aku rasa aku tidak berani.”

“Jaune, bukan kau saja yang mengatakan begitu. Setiap malaikat yang baru saja bertugas, merasakan hal yang sama sepertimu. Mereka tidak berani. Bahkan Gai dan Gros pun, juga mengatakan hal itu saat mereka baru saja bertugas.”

“Jika nanti aku akan mengecewakan Ayah, bagaimana?”

“Jika kau gagal, kau tidak akan mengecewakan Ayah. Kau akan mengecewakan dirimu sendiri.”

“Mengecewakan diriku sendiri?”

Ayah tersenyum lagi, “Kau akan tahu setelah kau mengalaminya.”

Jaune terdiam. Mencoba memikirkan apa yang dikatakan Ayah. Ia pun lalu mengangguk perlahan, walau ia sendiri tidak yakin bahwa ia memang mengerti.

“Kalau Nero... apakah dia punya musuh juga, Ayah?”

“Tentu saja.”

“Seekor anjing juga?”

“Iya.”

“Jadi, sekarang Nero sedang bertugas melawan musuhnya itu, ya?!”

Ayah mengangguk.

“Seperti apa rupanya, Ayah?”

“Musuh Nero adalah seekor anjing yang buruk rupa. Dengan tiga kaki, bulu kuning, satu mata, dan satu telinga. Anjing itu tidak memiliki hidung.”

“Wah... kenapa setan itu selalu buruk rupa sih, Ayah? Sampai anjing pun juga begitu.”

Ayah tersenyum, “Wajah, penampilan, suara, dan sikap mereka yang buruk merupakan cermin dari tingkah laku mereka yang buruk juga. Kita, para malaikat, memiliki wajah yang rupawan, karena sudah sepantasnya demikian. Kita berlaku baik, maka wajah kita pun baik.”

“Kalau aku berlaku tidak baik, apakah wajahku akan berubah menjadi buruk seperti mereka?”

“Bisa jadi.”

09 Ruang Penglihatan

Thursday, November 02, 2006

Bob pun akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan mulai berjalan keluar taman.

Gros mulai kebingungan, lalu menghampiri Bob lagi, “Bob, tunggulah sebentar lagi dan mamamu akan datang menjemputmu.”

“Terlalu lama jika aku terus menunggu. Lebih baik aku pulang, jadi aku akan makan malam lebih cepat,” ujar Bob kepada dirinya sendiri.

Makhluk itu tersenyum mencemooh ke arah Gros, membenarkan tindakan Bob. Ia berbisik lagi di telinganya, “Betul sekali. Kau sebaiknya pulang sekarang.”

Bob melanjutkan langkahnya keluar taman, diiringi sorak gembira si makhluk hijau. Gros tetap mengikuti langkah Bob dengan perasaan kesal sekali.

Gai menarik tangan Jaune, “Ayo. Kita ikuti mereka.”

“Tadi kau bilang bahwa kita harus diam di sini, bukan?!” tanya Jaune tidak mengerti.

“Jika kita berdiam diri saja di sini, kau tidak akan dapat melihat apa yang terjadi kemudian,” sahut Gai seraya menarik tangan Jaune. Mereka pun terbang mengikuti Gros pergi.

Sementara itu, Bob tetap mengukuhkan niatnya untuk pulang terlebih dahulu.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba muncul seekor anjing besar dengan suara menyeramkan. Ia terus saja menggonggong ke arah Bob dan mengejarnya. Bob berlari ketakutan, berusaha melepaskan diri dari kejarannya. Ia berlari sekuat tenaga menuju ke rumahnya.

Lagi-lagi Jaune berniat turun untuk menyelamatkan Bob. Namun, Gai mencegahnya.

Jaune kesal, “Gai, mengapa aku selalu tidak boleh membantu? Dia sedang dikejar anjing. Jika anjing itu menggigitnya...”

“Jaune, aku sudah mengatakannya kepadamu. Kita tidak boleh mencampuri urusan Gros. Dia pasti dapat menyelesaikan masalahnya sendiri,” kata Gai.

Jaune semakin kesal diperlakukan seperti itu. Jaune melepaskan tangan Gai dengan kasar, namun tetap berada di tempatnya.

“Lihatlah itu,” lanjut Gai sambil menunjuk ke arah Gros dan Bob.

Bob masuk ke rumahnya dengan terengah-engah. Ia mencari ibunya di dalam, namun ternyata ibunya tidak ada. Setelah beberapa saat ia menunggu, barulah ia menemukan ibunya yang baru datang.

“Mama ke mana saja? Mama bilang mau menjemputku,” isak Bob sambil memeluk ibunya. Masih belum hilang keterkejutan dan rasa takut Bob.

“Mama sudah mengatakan kepadamu untuk menunggu. Mama pasti akan menjemputmu, karena Mama sudah berjanji,” ujar ibunya seraya mengusap kepala Bob.

“Tapi mengapa Mama lama sekali? Aku coba untuk pulang sendiri, tapi malah dikejar anjing,” kata Bob.

“Sudahlah... Tidak apa-apa. Kau sudah di rumah sekarang. Bagaimana kalau kita makan malam saja?! Mama sudah menyiapkannya untukmu.”

Gros mengepakkan sayapnya, meninggalkan ibu dan anak itu. Ia mendekati Gai dan Jaune. Di belakang Gros, makhluk hijau itu mengikutinya. Jaune yang melihat itu mendadak ketakutan, lalu memeluk Gai erat-erat. Pelukannya bertambah erat seiring mendekatnya makhluk itu.

“Bagaimana? Hari ini aku menang, kan?!” tanya makhluk hijau itu kepada mereka semua.

Jaune semakin menggigil ketakutan mendengarnya. Ternyata, tidak hanya wajah dan penampilannya saja yang luar biasa buruk. Suaranya pun sungguh tidak enak untuk didengar.

“Tidak. Bukankah kau tidak berhasil membuat anjing itu menggigitnya?!” sahut Gros.

“Ya... kalau itu, bukan masalah. Yang pasti, anak kecil itu lebih memilih untuk lebih mendengarkan aku daripada kau!” katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan mereka semua.

Jaune masih saja menggigil ketakutan. Ia tidak dapat menghapus bayangan makhluk hijau yang mengerikan itu dari benaknya.

“Aku mau pulang...” katanya mulai terisak.

Gros tersenyum, “Jaune, tugas kita belum selesai untuk hari ini. Yang tadi adalah tugas pertama, sementara yang lain masih menunggu untuk diselesaikan.”

Jaune menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku mau pulang saja,” lanjutnya lagi.

Makhluk hijau yang dilihatnya ternyata telah membuatnya terkejut luar biasa. Tubuhnya masih menggigil ketakutan.

Tiba-tiba, “Gai, Gros, antarkanlah Jaune pulang. Setelah itu, kalian dapat melanjutkan tugas kalian.”

“Baik, Ayah.”

Mereka bertiga pun terbang lagi menuju ke rumah. Jaune masih memegang tangan Gai dan Gros erat-erat. Sesekali ia menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat apakah makhluk hijau itu mengikutinya.

Setibanya kembali di rumah, Jaune langsung menghambur masuk ke kamar Ayah. Gai dan Gros mengikutinya dari belakang.

Ia langsung saja membuka pintu kamar Ayah, dan memeluknya begitu menemukan Ayah di sana. Ayah tersenyum melihat kedatangan Jaune.

“Baiklah, sekarang biarkanlah Jaune di sini untuk sementara bersama Ayah. Kalian kembalilah menyelesaikan tugas kalian,” ujar Ayah.

Mereka pun meninggalkan Ayah dan Jaune di sana, lalu menutup pintunya.

Ayah mengangkat tubuh Jaune yang masih menangis terisak-isak. Lalu membawa Jaune masuk ke sebuah ruangan lain, melalui sebuah pintu lain yang terletak di kamarnya.

Jaune terkejut bukan main saat mereka memasuki ruangan itu.

Ruangan berbentuk bola, yang pada dindingnya tersusun layar-layar berukuran kecil, entah berapa banyak jumlahnya. Di bagian tengah ruangan, terdapat suatu tempat duduk besar sekali. Di atas tempat duduk itu, ada sepuluh orang malaikat yang tengah memperhatikan layar-layar itu.

Tangis Jaune mereda seketika saat melihatnya. Ia mengusap air matanya cepat-cepat, lalu melepaskan diri dari Ayah. Ia terbang mengelilingi ruangan itu, sambil memperhatikan layar satu persatu.

Belum habis seluruh layar sempat diperhatikannya, Jaune kembali menghampiri Ayah.

“Apa itu, Ayah? Mengapa banyak sekali gambar-gambar manusia di situ?” tanya Jaune heran.

Ayah membimbing Jaune ke tempat duduk besar di tengah ruangan, lalu duduk di situ.

“Jaune, itu adalah gambar seluruh manusia di bumi ini. Apa saja yang mereka lakukan, terlihat dengan jelas pada layar-layar itu.”

Jaune terbelalak, “Wah... sebanyak itukah, Ayah? Bagaimana Ayah bisa mengetahui nama-nama mereka? Atau, apakah mereka sedang bermain dengan teman-teman mereka? Apakah Ayah mengetahui semuanya?”

Ayah tersenyum, “Ya. Ayah mengetahui semuanya.”

“Satu persatu, Ayah?”

“Ya.”