24 Rumah Mango Milik Penyihir

Friday, April 27, 2007

Jaune membelalakkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kaisar, “Sungguh? Kaisar bersungguh-sungguh?”

Kaisar tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Tapi… aku harus bersekolah, Kaisar. Aku juga belum mengatakan apa-apa pada kakek dan nenek. Lalu apa yang harus kukatakan pada ayah?”

Kaisar tidak dapat menahan tawanya melihat Jaune kegirangan.

“Kirimkanlah surat kepada ayah dan kakek-nenekmu. Katakan kepada mereka kalau kau tinggal bersamaku selama mereka masih sibuk.”

“Sungguh?”

Kaisar lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

Dalam sekejap, Jaune sudah memeluk Kaisar erat-erat, “Terima kasih, Kaisar.”

Sebagaimana Kaisar, para pengawal yang melihatnya pun terkejut. Mereka sudah hendak menghampiri, namun Kaisar mencegahnya dan mengatakan tidak apa-apa.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kuperkenalkan kau pada seisi negeri ini setelah kita makan siang nanti?”

Jaune mengangguk dengan cepat, “Tentu saja. Tentu saja, Kaisar. Aku ingin sekali.”


• • •




Mulailah Jaune mengelilingi negeri Volk dengan ditemani oleh Kaisar Nikolai.

Perjalanan mereka dimulai dari taman bermain. Menemui anak-anak yang tengah bermain di sana. Kaisar menghentikan langkahnya, diikuti oleh Jaune. Melihat kedatangan Kaisar, segera saja anak-anak itu memberikan hormat kepadanya dengan mencium tanah.

“Anak-anak, aku ingin memperkenalkan teman baru kalian,” kata Kaisar seraya menunjuk ke arah Jaune.

Mereka memandangi Jaune, lalu tersenyum, “Kaisar, kami sudah mengenal Woody. Kami sudah bermain dengannya tadi.”

Kali ini gantian Kaisar yang tersenyum, “Baguslah kalau begitu. Jadi, kita dapat berkeliling lagi kan, Woody?!”

“Tentu saja, Kaisar,” serunya, “Nanti setelah selesai berkeliling, aku akan kembali ke sini lagi. Tunggu aku ya, teman-teman.”

Suara anak-anak bergemuruh, saling berebut mengiyakan kata-kata Jaune.

Jaune dan Kaisar melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini mereka menuju buah mangga besar yang terletak di samping air terjun.

“Ini adalah rumah mango.”

“Rumah mango?” Jaune mengerutkan dahinya, tidak mengerti.

“Ya. Rumah mango. Wizard tinggal di dalam rumah mango ini.”

Jaune mengerutkan dahinya lagi, semakin tidak mengerti, “Siapa Wizard? Mengapa dia tinggal di rumah ini? Dan mengapa Kaisar menunjukkan rumah ini padaku?”

Seketika itu pula Kaisar tertawa, tidak dapat menahan dirinya mendengar pertanyaan Jaune yang bertubi-tubi.

“Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu satu-persatu.”

Jaune malu mendengarnya, karena menyadari bahwa ia telah berbicara terlalu cepat dan terlalu banyak mengajukan pertanyaan.

“Yang tinggal di dalam rumah mango adalah Wizard, ia penyihir desa. Aku ingin kau bertemu dan berkenalan dengannya.”

“Penyihir?” tanya Jaune terkejut, setengah ketakutan.

Lagi-lagi Kaisar tertawa.

Tanpa berkata apa-apa, Kaisar menggandeng tangan Jaune untuk masuk ke dalam rumah mango. Kaisar berdiri di salah satu sisi rumah mango, sisi yang dekat dengan air terjun, lalu seketika itu pula, terbukalah pintu yang semula tidak terlihat.

“Mari kita kunjungi Wizard.”

Jaune hampir saja menolaknya, dan hendak menarik tangannya dari genggaman Kaisar. Namun, ia teringat pesan Ayah, bahwa sedapat mungkin ia harus bergabung dengan kaum Volk. Dan ini adalah salah satu jalannya.

Ternyata, rumah mango tidaklah seperti yang ada dalam bayangan Jaune. Rumah mango tidak seperti rumah penyihir lain, yang pernah dilihatnya. Bahkan rumah mango itu benar-benar tidak tampak seperti rumah seorang penyihir. Rumah mango juga tampak lebih luas daripada tampak luarnya.

Rumah mango terang benderang, dengan sinar yang seolah-olah berasal dari luar. Namun, sinar itu berasal dari dinding rumah mango, karena tidak ada satu pun jendela di sana.

Sama seperti tampak luarnya, dinding rumah mango juga berwarna hijau tosca, dengan beberapa gambar tergantung di situ, termasuk gambar Kaisar, yang terlihat sangat mirip dengan aslinya.

Setelah berjalan beberapa saat, Kaisar memasuki suatu ruangan tertutup bersama dengan Jaune.

Wizard berada dalam ruangan itu.

“Selamat datang, Kaisar,” seru Wizard seraya memberi hormat kepada Kaisar.

“Terima kasih, Wizard.”

“Ada apa sampai Kaisar harus datang sendiri mengunjungiku?”

“Aku hanya ingin berkunjung saja. Sekaligus ingin memperkenalkan Woody padamu,” kata Kaisar seraya menunjuk ke arah Jaune.

Sementara yang ditunjuk malah menghilang.

23 Menginap di Istana

Thursday, April 12, 2007

BENAR saja apa yang dikatakan Ayah. Saat Jaune tengah bermain di taman bersama dengan anak-anak lainnya, Kaisar Nikolai yang sesungguhnya datang menghampiri.

“Siapa kau? Aku belum pernah melihatmu.”

Jaune segera berdiri, “Aku Dominic, Kaisar. Aku memang baru saja datang bersama dengan orangtuaku.”

Kaisar Nikolai menganggukkan kepala, “Pantas saja. Kalau begitu, bagaimana jika kau ikut ke istanaku? Kita bisa berbicara lebih banyak di sana.”

Jaune mengangguk-angguk dengan senang sekali, “Tentu saja, Kaisar.”

Mereka pun berjalan menuju ke istana.

Hal yang sama kembali terjadi di dalam istana. Semuanya sama seperti yang terjadi saat Kaisar Nikolai ‘palsu’ mengajak Jaune ke dalam istana. Ada penghormatan yang luar biasa, ada saat di mana mereka berjalan di lorong hijau itu, namun yang berbeda, kini Kaisar Nikolai ‘asli’ mengajaknya untuk berbicara di ruang makan.

Lagi-lagi, kekaguman Jaune yang luar biasa saat melihat ruang makan itu. Sekali lagi, ruangan yang penuh dengan warna-warni.

“Maukah kau makan siang bersamaku di sini?” tanya Kaisar.

Jaune mengangguk dengan cepat.

Kaisar tertawa, geli melihat wajah Jaune, “Baiklah.”

Ia mengangkat tangannya, meminta seseorang menghampiri mereka. Setelah membisikkan sesuatu di telinga orang itu, ia membiarkannya pergi.

“Nah, makanan sedang disiapkan,” kata Kaisar, “Lalu, di mana orangtuamu, Dominic?”

“Woody, Kaisar.”

Kaisar Nikolai mengerutkan dahinya, “Woody?”

“Iya, namaku memang Dominic, namun semua orang memanggilku Woody.”

“Oh ya? Nama panggilan yang bagus, Woody,” Kaisar tertawa, “Jadi, di mana orangtuamu?” lanjutnya lagi.

“Ayah sedang pergi.”

“Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu nama Ayahmu?”

“Tentu saja tidak, Kaisar. Ayahku bernama Sabato.”

Kaisar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti, “Oh, rupanya kau anak Sabato! Ya… dia memang sedang pergi ke negeri seberang. Ia akan bekerja di sana untuk beberapa lama,” Kaisar mengernyitkan dahinya, “Tapi, aku tidak tahu bahwa Sabato memiliki seorang anak secantik kau.”

Jaune tersipu, “Ayah tidak pernah menceritakan tentang aku kepada Kaisar?”

“Tidak.”

“Aku tinggal bersama kakek dan nenek di negeri seberang. Tapi ayah sering sekali menceritakan kalau di sini banyak sekali anak-anak seperti aku. Jadi aku ingin sekali datang ke sini, dan akhirnya ayah mengantarku,” kata Jaune.

“Lalu ibumu, siapakah dia? Aku juga tidak tahu bahwa Sabato sudah menikah.”

Jaune menundukkan kepalanya, “Mmm… Aku juga tidak tahu siapa ibuku, Kaisar. Kata ayah, ibu meninggal saat melahirkan aku.”

“Oh, maafkan aku.”

Jaune hanya mengangguk sambil tersenyum saja.

“Lalu, untuk apa kau datang ke sini?”

Jaune tidak segera menjawab.

“Ayah masih sibuk di sana. Kakek dan nenek juga masih sibuk bekerja. Aku yang ingin datang ke sini agar bisa bertemu teman-teman. Ayah juga setuju. Kata ayah, semua orang di sini mengenalnya, jadi aku tidak perlu khawatir.”

“Tentu saja kami semua mengenal ayahmu. Sabato adalah orang yang sangat baik.”

Jaune tersenyum bangga. Merasa seolah-olah memang Ayah-lah yang sedang dipuji oleh Kaisar Nikolai.

“Kenapa kau tidak tinggal di sini saja?” lanjut Kaisar tiba-tiba.

“Aku ingin sekali, Kaisar. Tapi ayah ‘kan tidak punya rumah di sini.”

“Tinggallah di istana.”

22 Kaisar Ayah

Wednesday, April 04, 2007

“Nikolai...” Jaune tampak berpikir sejenak, “Kedengarannya lebih pas,” lanjutnya lagi, membuat Kaisar tertawa untuk yang kedua kalinya.

“Tapi terlalu panjang kalau aku harus memanggilmu Kaisar Nikolai. Bolehkah aku memanggilmu Nikolai saja?”

Kaisar tertawa, “Sebaiknya kau tetap memanggilku Kaisar Nikolai.”

“Iya, kurasa juga begitu. Atau pengawalmu tadi pasti akan menangkapku, ‘kan?!”

Kaisar tersenyum, “Kau memang pandai, Jaune.”

Jaune terbelalak mendengarnya, “Dari mana kau… eh, Kaisar tahu namaku?”

Lagi-lagi ia terlah membuat Kaisar tertawa, “Tentu saja aku tahu namamu. Aku sudah hidup denganmu sejak kau dilahirkan.”

Jaune semakin tidak mengerti.

Seketika itu, sosok Kaisar Nikolai di hadapannya berubah menjadi sosok yang ia kenal dengan baik, dengan sangat baik.

“Ayah?!”

Ayah tersenyum, sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Jaune, “Ayah khawatir padamu, Jaune.”

“Ah, Ayah. Ayah selalu begitu! Aku tidak apa-apa. Ayah tidak perlu berpura-pura menjadi Kaisar untuk mengikutiku. Jika Ayah memang tidak mengijinkan aku pergi, sebaiknya Ayah mengantar aku pulang saja,” kata Jaune kesal.

“Bukan itu maksud Ayah, Jaune. Ayah hanya ingin mengetahui keadaanmu.”

“Ayah ‘kan bisa melihat dari layar-layar besar di kamar Ayah itu, tidak perlu datang ke sini.”

Ayah menghampiri Jaune, bermaksud memeluknya, “Ssttt… kalau bicaramu sekeras ini, penjaga di depan pintu akan datang dan membawamu keluar dari sini.”

Jaune berjalan menjauh dengan wajah cemberut, “Kalau begitu, katakan! Untuk apa Ayah datang ke sini?”

“Baiklah…” kata Ayah seraya menghela napasnya, “Ayah hanya ingin tahu, seberapa baik kau menjalankan tugasmu.”

“Aku belum sempat menjalankan tugasku, itu karena Ayah datang. Kalau saja Ayah tidak datang, mungkin aku sudah menolong salah satu dari mereka.”

“Mungkin, tapi mungkin juga tidak.”

Jaune semakin kesal mendengarnya.

“Jaune, tampaknya kau harus memikirkan lebih baik lagi alasanmu ada di sini. Dan bukan dengan alasan yang kau katakan kepada Ayah tadi,” kata Ayah.

Jaune membelalakkan matanya, “Apa maksud Ayah?”

“Maksud Ayah, pikirkanlah lagi alasan mengapa kau bisa ada di negeri ini. Kaisar Nikolai tidak akan mempercayai apa yang kau katakan. Jaune, ia adalah orang terpandai di negeri Volk.”

Wajah Jaune tiba-tiba berubah khawatir, “Lalu, apa yang harus kukatakan kepadanya?”

“Katakan bahwa orangtuamu yang membawamu ke sini untuk bermain. Mungkin mereka akan menjemput beberapa hari lagi. Mungkin Kaisar akan lebih mempercayainya.”

“Dia orang yang baik ya, Ayah?”

“Sangat baik.”

Dada Jaune berdegup kencang. Ia takut dan khawatir bahwa Kaisar Nikolai tidak akan mempercayainya. Namun di saat yang sama juga demikian tidak sabarnya untuk bertemu dengan Kaisar yang sesungguhnya.

“Ayah, di mana Kaisar Nikolai sekarang?”

“Dia sedang dalam perjalanan pulang dari negeri lain. Sesaat lagi dia akan tiba.”

“Wah… aku harus segera keluar dari sini, kalau begitu.”

Ayah menganggukkan kepala.

“Tapi Ayah, apakah dia akan mengetahui bahwa aku bukan penduduk negeri ini?”

“Tentu saja. Dia pasti akan datang menghampirimu, dan menanyakan kedatanganmu di sini, seperti yang Ayah lakukan tadi.”

Jaune menghela napasnya. Tetap tidak bisa menghentikan detak jantungnya yang semakin cepat.

“Baiklah. Aku harus menyiapkan apa yang harus kukatakan padanya.”

Ayah tersenyum. Lalu, segera menghilang dari hadapan Jaune.