21 Bertemu Kaisar

Friday, March 02, 2007

Jaune berlari-lari mendekati anak-anak yang tengah bermain di taman. Mereka yang melihat kedatangannya pun menjadi sangat keheranan.

“Apais aid?*” tanya seorang anak kepada anak yang lainnya.

“Kadit uhat. Uka muleb hanrep ayntahilem,*” sahut yang lain.

Sejenak itu pula, mereka menghentikan semua permainan. Mereka memandangi Jaune yang semakin mendekat.

Setelah ia benar-benar menginjakkan kaki di taman bermain, perlahan mereka berjalan keluar dari situ. Membuat Jaune yang heran kali ini, dan bermaksud mengejar dan menghentikan mereka.

Berlarilah mereka semua berhamburan.

Dan pengejaran Jaune pun harus terhenti ketika langkahnya terhalang. Seseorang telah ada tepat di hadapannya, membuat Jaune terlompat ke belakang ketika ia menyadarinya.

“Apais uak? Apagnem uak rajegnem akerem?*
Jaune hanya bisa memandangi orang di hadapannya itu. Ia tidak bisa menjawab apa-apa, karena ia bahkan tidak mengerti apa yang didengarnya.

“Uak apais? Gnatad irad anam? Anamiagab uak asib ada id inis?*

Jaune pun menjawab sekenanya. Hanya agar orang di hadapannya berhenti bertanya.

“Uka nigni niamreb amasreb akerem, idaj uka ek inis.*

Lalu terkejutlah ia tiba-tiba.

Jaune tidak tahu bahwa ia bisa berbicara dalam bahasa Volk. Ia bahkan baru menyadari bahwa ia memang mengerti apa yang sedari tadi dikatakan para Volk itu kepadanya.

Ingatlah ia.

Ayah memang pernah mengatakan padanya bahwa ia dapat mengerti semua bahasa yang ada di bumi. Termasuk bahasa Volk yang baru saja dikatakannya.

“Hei, mengapa mereka semua berlari begitu? Aku kan ingin mengajak mereka bermain?!” Jaune balik bertanya.

Orang itu tersenyum, “Kau orang baru di sini, bukan?!”

Jaune menganggukkan kepalanya.

“Ikutlah denganku. Pasti lebih nyaman kalau kita berbincang-bincang di rumahku,” katanya.

Apa yang didengarnya membuat Jaune ragu-ragu. Ia benar-benar baru bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya, tapi ia sudah mengajak untuk pergi ke rumahnya.

Bagaimana kalau ternyata ia penyihir yang jahat? Yang senang membujuk anak-anak kecil untuk mengikutinya, lalu kemudian akan menyihirnya menjadi katak atau ulat bulu?!

Tapi Jaune pun memutuskan untuk ikut dengannya kemudian.

Orang itu tampak seperti orang yang baik. Benar-benar tidak seperti seorang penyihir.

Lagipula kalau terjadi sesuatu padanya, pasti Ayah akan menolong.

Dalam perjalanan, Jaune melihat bahwa anak-anak yang tadi berlarian dari taman bermain perlahan-lahan ikut berjalan di belakangnya. Mereka mengikutinya pergi.

“Inilah rumahku.”

Jaune membelalak. Ia bingung sekali, karena apa yang dilihatnya benar-benar tidak tampak seperti sebuah rumah.

Lebih pantas disebut sebagai istana.

Jaune tidak pernah melihat istana seindah ini, tentu saja selain istana Ayah. Istana yang sangat indah karena dipenuhi dengan warna-warni. Berbeda dari istana Ayah yang seluruhnya berwarna putih.

“Ini rumahmu?” tanya Jaune.

Orang itu hanya tersenyum lalu menarik perlahan tangan Jaune dan mengajaknya masuk.

Jaune semakin heran saat melihat setiap orang memberikan hormat dengan berlutut dan mencium tanah setiap kali mereka berdua melintas.

Ia pun berhenti memikirkan mengapa semua orang melakukan hal itu, setibanya mereka di sebuah lorong panjang di dalam istana. Lorong yang terang-benderang, membuat warna hijau tosca pada dinding dan langit-langit terlihat jelas.

Jaune menyukainya.

Dan tibalah mereka di depan pintu yang besar dan tinggi.

Dua orang di kiri-kanan pintu kelihatannya sedang berjaga-jaga. Mereka mengenakan pakaian yang sama, dan memegang tombak. Keduanya membukakan pintu bagi mereka, segera setelah memberikan hormat seperti yang lain.

Jaune mengamati kembali ruangan yang megah itu dengan takjub.

Di satu sisi ruangan, ada tempat tidur yang berbentuk lingkaran besar berwarna kuning pucat. Sekeliling tempat tidur itu dihias dengan bunga-bunga berwarna-warni. Sementara di seberangnya terdapat satu meja besar berbentuk bundar seperti bola, dengan bagian datar di atas.

Dan semua yang dilihatnya di sana membuat Jaune tidak habis-habisnya merasa kagum.

“Duduklah,” kata orang itu seraya menunjukkan sebuah tempat duduk plastik gembung berwarna kuning di samping tempat tidur.

Jaune duduk di atasnya. Rasanya nyaman sekali, hingga Jaune berkali-kali menghempaskan tubuhnya. Orang itu tertawa melihatnya.

Tiba-tiba Jaune teringat sesuatu, untuk apa ia berada di sini.

“Untuk apa kau membawaku ke… mmm… rumahmu ini?” tanyanya sambil terus menoleh ke kanan-kiri dan masih tidak mempercayai bahwa orang di hadapannya menyebut istana sebesar ini sebagai sebuah rumah.

“Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku ingin menanyakan sesuatu dulu padamu. Tahukah kau dengan siapa kau berbicara sekarang ini?”

Jaune mengernyitkan dahinya, lalu menggeleng, “Tidak.”
Orang di hadapannya tersenyum, “Sudah kuduga, kau orang baru di sini. Karena kau tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi ini.”

Jaune tidak menjawabnya. Ia masih bingung.

“Aku mengajakmu ke sini untuk membicarakan kedatanganmu di negeri ini.”

“Kedatanganku? Memangnya ada apa dengan itu?”

“Di mana kedua orang tuamu? Atau kau datang sendirian?”

Pertanyaan itu membuat Jaune terkejut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dan sebelum menyadari apa yang harus dikatakannya, tiba-tiba sudah terucap kata-kata dari bibirnya.

“Aku… orang tuaku tidak ada di sini. Aku memang datang sendirian. Mereka mengatakan bahwa aku sebaiknya berada di sini, untuk bermain bersama dengan teman-temanku. Mungkin, aku akan lebih bahagia di sini.”

Orang itu tersenyum, tidak mempercayai apa yang dikatakan Jaune. Jaune yang menyadarinya menjadi semakin gugup.

“Lalu, kau siapa?” tanya Jaune lagi.

“Aku? Aku adalah pemilik istana ini, kaisar kaum Volk. Namaku Wayne.”

“Wayne? Kaisar Wayne? Mmm… Wayne terdengar kurang bagus untuk nama seorang kaisar.”

Sang kaisar tertawa, “Baiklah… baiklah… Wayne memang bukan namaku. Aku Kaisar Nikolai.”



* Bahasa kaum Volk: tiap kata dibaca dari kanan ke kiri, untuk dapat dimengerti arti sebenarnya. Untuk selanjutnya, akan ditulis seperti biasa.