34 Menyambut Kepulangan Jaune

Friday, November 07, 2008

“Apa yang membuatmu sedih begitu?” tanya Ayah saat menemui Nero di kamarnya.

“Jaune… seperti bukan Jaune yang kukenal, Ayah… Aku… aku merasa kehilangan dia.”

Ayah tersenyum. Ia segera menghampiri Nero dan memeluknya, “Tentu saja tidak. Kau tidak pernah kehilangan dia, Nero.”

“Tapi aku sudah kehilangan Jaune, Ayah.”

“Tidak, Nero. Mungkin sekarang kau hanya sedang sangat merindukannya. Lagipula, Jaune pasti akan pulang kembali ke rumah ini lagi bersama dengan kita.”

“Benarkah itu, Ayah?”

“Tentu saja.”

Nero menghela napasnya panjang, “Tapi… Sepertinya Jaune memang belum siap untuk bertugas.”

“Maksudmu?”

“Dia masih terlalu kecil. Dia masih terlalu suka bersenang-senang, jadi mungkin belum tahu tugas apa yang sebenarnya harus ia kerjakan.”

“Kalau menurut Ayah, dia sudah cukup paham dengan tugasnya. Hanya saja, ya mungkin dia lupa.”

“Tapi, Ayah…”

Ayah tersenyum, “Sudahlah, Nero. Kita tahu bahwa Jaune memang masih kecil, dan seperti yang kau katakan, mungkin dia masih ingin bermain-main. Tapi Ayah yakin, suatu saat ketika harus menyelesaikan masalah, saat itulah ia akan menjadi dewasa.”

“Kapan itu, Ayah?”

“Tidak lama lagi.”

 

∗ ∗ ∗


 

Jaune mencoba untuk memejamkan matanya dan tidur. Namun tidak berhasil. Ia masih memikirkan Nero, dan juga apa yang telah dikatakan sahabatnya itu tadi.

Benarkah aku telah melakukannya? Benarkah aku telah menggunakan kemampuan malaikatku hanya untuk dipuji oleh teman-teman dan Kaisar? Benarkah bahwa aku sudah lupa akan tugasku? Nero pasti marah sekali padaku. Aku tidak ingin membuatnya marah, dan sedih. Tapi apa yang harus kulakukan?

Jaune bingung sekali.

Akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang, walaupun hanya sebentar.

Ia segera mengubah wujudnya kembali seperti semula. Dengan jubah putih, sayap, dan rambut pirangnya yang keriting itu.

Secepat kilat, Jaune meninggalkan kamarnya dan istana Kaisar Nikolai. Ia terbang kembali ke rumahnya. Nero pasti sedang menunggu kedatangannya di sana.

Benar saja. Saat baru tiba di pintu gerbang, Nero sudah menyadari kehadirannya. Nero yang semula berada di kamar dan hendak tidur, langsung keluar. Ia cepat-cepat terbang menuju pintu gerbang untuk menyambut kedatangan Jaune.

Saat melihat sahabatnya itu, Nero segera menabraknya dan memeluk Jaune. Jaune tertawa-tawa melihatnya.

“Akhirnya kau pulang juga!” seru Nero kegirangan.

“Tentu saja,” Jaune lalu melepaskan pelukan Nero, “Nero, maafkan aku karena membuatmu marah. Aku tidak bermaksud begitu. Maafkan aku, ya...”

Nero tersenyum, “Sudahlah, Jaune. Aku sudah memaafkanmu.”

“Kalau begitu, sekarang antarkan aku ke kamar Ayah. Aku juga ingin bertemu dengannya.”

“Tentu saja.”

Mereka berdua pun berjalan menuju ke kamar Ayah.

Ayah yang juga sudah mengetahui kedatangan Jaune segera menyambutnya dengan gembira. Ia memeluk Jaune erat sekali.

“Ayah sangat merindukanmu, Jaune.”

“Aku juga, Ayah.”

“Kenapa baru sekarang kau kembali ke sini?”

“Maafkan aku, Ayah. Kalau saja tadi Nero tidak datang dan memarahiku, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang. Aku memang merindukan kalian semua. Maafkan aku, ya…”

Ayah tersenyum, melepaskan pelukannya lalu menatap Jaune.

“Sudahlah, Ayah dan Nero sudah memaafkanmu.”

“Aku… aku juga minta maaf karena telah melakukan kesalahan.”

Ayah mengerutkan keningnya, tidak mengerti, “Kesalahan apa?”

Suara Jaune memelan, “Mmm… Nero belum bercerita pada Ayah? Yaahh... seperti yang dikatakan Nero tadi, Ayah.”

Lagi-lagi Ayah tersenyum, “Ayah senang mendengarnya. Mungkin kau hanya lupa, kau sedang menikmati pujian yang diberikan kepadamu. Dan memang bukan itu yang seharusnya kau lakukan. Semestinya kau membantu manusia, bukan dengan caramu itu. Tapi Ayah yakin, kau sudah menyadari kesalahanmu.”

Jaune menatap Ayah dan Nero bergantian, “Aku harus berterima kasih padamu, Nero. Kalau kau tidak datang dan marah-marah seperti tadi, mungkin aku akan terus melakukannya.”

Nero tertawa, “Berterima kasihlah kepadaku, Jaune! Karena memang akulah sahabatmu yang baik hati!”

Mereka semua tertawa.

Tiba-tiba, muncullah Gai dan Gros ke dalam kamar itu juga. Mereka sama terkejutnya seperti Nero saat melihat kedatangan Jaune.

Gai langsung mendekati Jaune, “Jaune? Kaukah itu?”

Saat Jaune menggelengkan kepalanya sambil menahan senyuman, barulah Gai memeluknya erat sekali. Ia yakin hanya adiknya yang satu itu yang melakukan hal itu. Gai bahkan memeluknya sangat erat sampai hampir membuat Jaune sesak napas.

“Gai… hentikan, Gai! Kau… aku… aku tidak bisa… berna…pas…”

Sesaat itu Gai pun melepaskan pelukannya, “Maafkan aku. Maaf…”

Belum selesai Jaune menarik napas lega, Gros gantian memeluknya. Hanya sebentar, “Selamat datang kembali, Jaune.”

Jaune kemudian mengerutkan keningnya, “Tunggu… tunggu… Bagaimana kalian bisa datang ke sini tiba-tiba? Kalian juga sudah tahu kalau aku datang?”

“Tidak. Ayah meminta kami datang, tapi sudah agak lama. Kami baru bisa datang sekarang karena ada tugas yang harus kami selesaikan,” jawab Gai.

“Jadi, apa yang ingin Ayah bicarakan?” lanjut Gros.

Ayah menggeleng, “Tidak ada. Ayah memang hanya ingin memberitahu kedatangan Jaune.”

Jaune mengernyitkan dahi, “Tapi, aku kan baru saja datang, Ayah. Kapan Ayah memberitahu mereka? Aku tidak melihat Ayah berbicara pada siapapun selain aku dan Nero?!”

Nero tiba-tiba tersenyum, “Aku tahu! Pasti Ayah sudah tahu bahwa Jaune akan datang sejak aku pulang tadi, kan?!”

Ayah ikut tersenyum dan mengangguk, “Dan Jaune tidak akan lama berada di sini. Benar begitu kan, Jaune?!”

Jaune menundukkan kepalanya, diam.

Tak lama, barulah ia menjawab, “Iya, Ayah. Aku pulang sebentar hanya ingin mengatakan kalau kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Aku memang belum bisa pulang karena belum menyelesaikan tugasku.”

Nero, Gai, dan Gros pun terkejut.

“Kau… kau akan kembali ke desa Volk lagi?” tanya Nero.

“Maaf, Nero. Aku harus kembali untuk menyelesaikan tugasku.”

Hening seketika.

“Sudahlah, kalian tidak perlu bersedih seperti itu. Jaune harus menyelesaikan tugasnya. Dia pasti akan pulang jika sudah selesai,” kata Ayah.

Setelah beberapa saat saling melepaskan rindu, Jaune pun akhirnya berpamitan. Ia kembali terbang menuju desa Volk setelah melambaikan tangan kepada mereka semua. Nero, Gai, dan Gros memandang kepergian Jaune dengan sedih. Mereka ingin mencegah Jaune agar tidak kembali lagi ke desa Volk, tetapi mereka juga mendengar apa yang dikatakan Ayah. Mereka pun hanya berharap agar Jaune segera pulang kembali.