12 Berdebar Seperti Buah Tomat

Tuesday, November 14, 2006

“NERO, kau tahu tidak, bahwa mulai besok aku akan bertugas?” tanya Jaune kepada Nero, yang hampir terlelap.

Nero tidak sanggup menjawab pertanyaan Jaune. Ia sudah terlalu mengantuk.

“Ah, Nero! Kenapa kau diam saja?” Jaune menghampiri Nero yang tengah berbaring di atas tempat tidur.

Jaune mengguncang-guncangkan tubuh Nero, namun Nero tidak juga bereaksi. Ia tahu, apa yang akan dibicarakan Jaune bisa membuatnya tidak tidur. Jaune akan bercerita panjang-lebar dan tidak akan bisa dihentikan. Oleh karena itulah, ia memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar Jaune.

Nero menutup matanya.

Namun ia lupa bahwa Jaune tahu kepura-puraannya. Bahwa Jaune tahu kalau ia sengaja menutup mata untuk menghindari percakapan mereka.

Jaune pun tersenyum.

Perlahan ditariknya sayap Nero. Ia tahu betul dengan begitu Nero akan segera bangun, karena Nero memang paling tidak suka jika ada yang menggunakan sayapnya untuk bermain-main.

Semula Nero pura-pura tidak peduli dengan apa yang dilakukan Jaune. Lama-kelamaan, ia tidak tahan juga. Ia tidak suka Jaune memainkan sayapnya, karena membuat sayapnya menjadi gatal.

Seketika itu, Nero merentangkan sayapnya dan berdiri menatap Jaune.

“Bukankah aku sudah pernah mengatakan padamu kalau aku tidak suka jika ada yang memainkan sayapku??”

“Iya, kau pernah mengatakannya.”

“Lalu, mengapa kau masih melakukannya juga?”

“Karena aku juga tidak suka melihatmu pura-pura tidur seperti itu.”

Nero diam saja. Ia masih jengkel, tapi sekaligus merasa bersalah karena telah melakukannya. Karena telah sengaja membiarkan Jaune berpikir bahwa ia sedang tidur.

“Nero, aku ingin kau mendengarkanku. Sebentaaarr saja,” lanjut Jaune.

“Jaune, aku sudah seharian ini bertugas, dan aku lelah sekali. Aku ingin tidur. Mengapa kau tidak meminta Gai atau Gros untuk mendengarkan ceritamu? Atau kau juga bisa bicara pada Ayah, kan?!”

Jaune menggelengkan kepalanya, “Gai dan Gros pasti sudah tidur. Dan aku tidak ingin mengganggu Ayah, karena Ayah pasti sedang sibuk.”

Nero kembali merasa kesal, “Kalau begitu, kenapa kau mau menggangguku?”

Jaune duduk mendekat, “Aku tidak mengganggumu, Nero. Aku hanya ingin kau mendengarkanku,” ujarnya.

Nero tidak menjawab, masih kesal. Dan membuat Jaune akhirnya terdiam dan tiba-tiba ingin menangis.

Tak lama, matanya pun mulai berair dan napasnya mulai tersendat. Nero yang menyadari hal itu segera mendekatkan diri pada Jaune.

“Baiklah... baiklah... apa yang ingin kau ceritakan? Aku akan mendengarkanmu.”

Masih berusaha menata kembali napasnya, Jaune pun mengusap air mata yang mulai meleleh di pipi.

“Nero, kata Ayah, aku besok mulai bertugas. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Kau harus menolong manusia.”

“Bagaimana caranya?”

“Kau harus membantu mereka untuk memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi. Caranya, dengan memberitahu apa yang harus mereka lakukan.”

“Seperti Gros?”

“Ya, seperti yang dilakukan oleh Gros?”

“Bagaimana kalau aku memberitahu manusia untuk melakukan sesuatu yang jahat?”

“Jaune, kita adalah malaikat. Ayah yang menciptakan kita. Kita tidak mungkin mengatakan sesuatu yang jahat.”

“Tapi, jika memang aku mengatakannya tanpa sengaja, bagaimana?”

“Tidak. Malaikat tidak akan mungkin melakukannya.”

Jaune menghela napasnya. Ia masih belum mengerti. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan pada tugasnya esok.

Ia memang pernah melihat Gros berbisik kepada Bob, memberitahukannya apa yang harus dilakukan. Namun, kata-kata Gros sepertinya tidak didengarkan oleh Bob. Karena itulah, maka seekor anjing yang galak mengejar Bob dalam perjalanan pulangnya.

“Tapi aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Sudahlah, Jaune. Tidak usah pusing dan bingung memikirkannya. Karena semakin kau berpikir keras tentang hal ini, kau akan semakin tidak mengerti.”

Mereka berdua pun menolehkan kepala ke arah pintu. Terkejut saat tiba-tiba terdengar pintu dibuka, dan muncullah Ayah dari sana.

“Apa yang dikatakan Nero benar, Jaune. Kau hanya perlu melakukan tugasmu. Tidak perlu memusingkan diri dengan hal itu.”

Jaune diam saja. Ia ingin sekali menyetujui yang dikatakan Ayah. Tapi ia masih tidak mengerti.

“Apa yang akan kau katakan kepada manusia adalah hal baik,” lanjut Ayah.

“Selalu?”

“Selalu.”

Jawaban Ayah tampaknya belum cukup membantu Jaune untuk menguraikan kebingungannya. Namun ia tidak ingin Ayah melihatnya seperti itu. Ia berusaha untuk tetap tenang, sekalipun usaha untuk menyembunyikan pun tetap sia-sia.

Dan Ayah tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum saat melihat dahi Jaune berkerut dan kedua sudut bibir yang ditarik. Membuat kedua pipinya yang bersemu merah tampak menggembung seperti buah tomat.