08 si Hijau Ikut Menjemput

Sunday, October 29, 2006

GAI berjalan pelan menuju kamar Jaune. Hari ini adalah hari pertama Jaune turun ke bumi. Dan sesuai permintaan, Gai membangunkannya lebih awal dari biasa.

Semula, Gai berniat menggunakan sayapnya untuk menuju kamar Jaune. Namun ia tahu, bahwa menggunakan sayap di lorong sekecil itu akan merepotkan dan memakan waktu yang lama.

Setibanya di kamar Jaune, Gai membuka pintunya perlahan. Dilihatnya Jaune tengah tertidur pulas memeluk Nero. Sesekali sayapnya bergerak-gerak.

Gai tersenyum melihatnya. Kini Jaune sudah sama seperti dirinya. Memiliki sayap dan dapat terbang.

“Jaune... Jaune... bangunlah,” bisik Gai. Jaune tidak menjawabnya.

Gai harus membangunkan Jaune beberapa kali lagi, hingga Jaune benar-benar tersadar dari tidurnya. “Apakah aku sudah harus pergi? Tapi aku masih sangat mengantuk, Gai. Aku tidak ikut saja, ya?!”

Gai menarik tangan Jaune, hingga tubuh Jaune terduduk, “Hei, dengar! Ayah sudah memberimu tugas, dan kau tidak boleh menolaknya begitu saja. Kita harus berangkat.”

Jaune mengusap-usap kedua matanya, “Tapi, Ayah juga tidak akan marah jika aku tidak pergi, kan?! Ayah selalu baik padaku.”

“Memang, Ayah selalu baik padamu,” jawab seseorang tiba-tiba, memasuki kamar Jaune.

Jaune langsung membuka matanya lebar-lebar untuk melihat siapa lagi yang datang. “Ayah?! Ada apa Ayah kemari?” tanyanya.

“Membangunkanmu, agar kau tidak jadi anak malas.”

“Aku masih mengantuk sekali, Ayah.”

“Jaune, Ayah selalu memberikanmu hadiah yang selalu kau inginkan. Jadi, jangan kau kecewakan Ayah,” sahut Gai.

Jaune menghela napasnya, lalu turun dari tempat tidurnya, “Baiklah. Aku akan berangkat sekarang.” Jaune lalu berjalan menuju ke arah pintu, namun ia justru berjalan ke arah dinding, dan menabrak dinding itu hingga jatuh terduduk.

Ayah dan Gai yang melihatnya tertawa.

“Buka dulu matamu sebelum mulai berjalan,” ujar Gai di sela tawanya.

Jaune bangkit perlahan-lahan. Ia membalikkan tubuhnya ke arah mereka berdua. “Lihat! Mataku sudah terbuka, kan?!” ujar Jaune seraya membelalakan matanya, membuat mereka berdua tertawa lagi.

• • •


Bob tengah bermain pasir di taman bersama-sama temannya. Ia terlihat senang sekali. Ia membuat istana pasir yang indah dengan selokan-selokan bersama mereka.

Mereka bermain sampai tidak menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan sore hari.

Beberapa orang teman Bob mulai membereskan peralatan. Mereka juga meratakan kembali istana yang sudah mereka buat, kembali menjadi gundukan pasir. Bob memandangi mereka dengan tidak peduli. Namun, hari semakin gelap dan Bob belum juga dijemput.

Bob berjalan ke arah bangku taman, lalu duduk di situ.

“Mama ke mana, sih? Mengapa aku belum juga dijemput?” tanyanya kepada dirinya sendiri. “Apakah aku harus menunggu atau aku pulang saja sendiri?”

Saat itulah Gros terbang menghampiri Bob, lalu membisikkan sesuatu di telinganya, “Bob, kau sebaiknya menunggu mamamu di sini. Sebentar lagi ia akan datang menjemput.”

Tiba-tiba saja datang seekor makhluk aneh.

Makhluk itu berwarna hijau. Tubuhnya kurang lebih sama dengan Gros. Hanya saja wajahnya jelek sekali. Kedua matanya yang berwarna merah tampak sangat besar, hingga hampir keluar dari kelopak matanya. Bentuk telinganya pun meruncing ke atas. Hidungnya besar dan panjang. Dagunya panjang sekali hingga menyentuh lututnya. Dan yang paling mengerikan, wajahnya yang hijau itu dipenuhi dengan tonjolan-tonjolan besar, mirip dengan kacang polong yang melekat di wajah.

Jaune hampir saja berteriak ketakutan melihat makhluk itu. Terlebih, saat makhluk hijau itu mendekati Gros. Jaune hendak berteriak memperingatkan Gros, namun Gai membungkam mulutnya, hingga tak satupun kata yang keluar dari sana.

“Sssttt... jangan berisik!” ujar Gai.

Jaune bersusah payah melepaskan tangan Gai yang menutup mulutnya. “Tapi makhluk jelek itu akan mendekati Gros. Dia bisa terluka nanti,” kata Jaune.

Saat Jaune hendak berteriak lagi, Gai membungkam mulutnya untuk yang kedua kalinya, “Kau tidak perlu berteriak. Gros sudah tahu bahwa makhluk itu akan datang.”

Jaune berusaha membuka tangan Gai lagi, “Kalau Gros tahu, mengapa dia masih tetap berada di situ?”

Gai tersenyum, “Untuk itulah kau berada di sini. Kau akan belajar banyak dari apa yang akan kau lihat. Gros tidak perlu dibantu, karena dia dapat menyelesaikannya sendiri. Sama seperti semua malaikat yang lain, yang harus dapat menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Perhatikanlah apa yang akan dilakukan Gros.”

Jaune menurut.

Makhluk itu mendekati Bob, dan berdiri di sisi lain telinganya, sementara Gros berada di sisi telinga satunya.

“Kau tidak perlu menunggu seharian di sini. Kalau mamamu tidak menjemput, bagaimana? Lebih baik kau berjalan pulang sekarang, dan kau akan tiba lebih cepat di rumah. Dengan begitu, mamamu akan senang,” bisik makhluk itu kepada Bob.

Bob masih duduk di situ, bimbang menentukan pilihan. Sementara, hari mulai bertambah gelap. Bob ragu-ragu untuk tetap berada di tempat itu, namun ia juga tidak berani untuk pulang sendirian.

“Bob, mamamu sudah berjanji akan menjemputmu di sini, kan?! Mamamu tidak akan mengingkari janji. Sebentar lagi, ia pasti akan datang,” ujar Gros.

“Terlalu lama jika kau harus menunggunya datang. Lebih baik kau pulang saja sekarang. Kalau kau tiba di rumah lebih cepat, mamamu akan lebih senang,” kata makhluk itu.

Bob ragu-ragu. Ia benar-benar tidak tahu harus tetap menunggu atau segera meninggalkan taman untuk pulang ke rumah.

07 Sayap yang Baru Tumbuh

Wednesday, October 25, 2006

Ayah menarik napasnya, lalu mengangkat tangannya dengan telapak menghadap ke arah Jaune. Ayah memejamkan mata sesaat, lalu bersamaan dengan matanya yang terbuka, seberkas sinar terang menyelimuti tubuh Jaune. Langit di atas menjadi terang benderang, dengan matahari tepat berada di atas kepala Jaune. Puluhan burung berwarna putih terbang mengelilinginya.

Bersamaan dengan itu pula Jaune berteriak kesakitan. Makin lama teriakannya semakin keras, hingga memenuhi ruangan. Semua yang menyaksikan serentak menahan napas. Pemandangan itu sudah biasa mereka lihat, saat Ayah mengumumkan kehadiran malaikat baru. Namun bukan pada Jaune. Bukan pada anak sekecil itu.

Gai yang melihat kesakitan Jaune yang luar biasa itu, hampir tidak sanggup menahannya lagi. Jika saja Gros tidak meraih tangannya, Gai pasti sudah menyusul Jaune ke atas altar. Gai hanya bisa menatap Jaune tanpa dapat berbuat apa-apa. Ia bahkan bisa merasakan sakit luar biasa yang tengah melanda Jaune.

Teriakan itu makin keras dan makin keras. Setiap telinga yang mendengarnya seolah juga bisa merasakan kesakitan yang luar biasa.

Perlahan, bulu-bulu burung putih itu jatuh berterbangan di atas tubuh Jaune. Dan jumlahnya terus saja bertambah banyak hingga seluruh tubuh Jaune terselimuti oleh bulu-bulu itu. Seluruh tubuhnya menjadi tidak tampak karena tertutup.

Jaune tidak terlihat, namun teriakannya belum juga hilang.

Ia berusaha menahan kesakitannya. Ia terus berusaha agar tidak terjatuh. Ia mencoba tetap berdiri. Namun ia tidak lagi sanggup menahannya. Jaune jatuh terduduk bersamaan dengan memudarnya cahaya yang menyelimutinya.

Ayah menurunkan tangan dan membuka matanya. Dilihatnya Jaune yang tersungkur di atas altar.

Jaune yang baru.

Tak berapa lama, Jaune menengadahkan kepalanya, memandang Ayah yang masih berdiri di hadapannya. Ia mencoba berdiri, berulang kali, namun ia tidak dapat. Tubuhnya terasa lemah sekali.

Gai yang melihatnya, segera berlari dan menghampiri Jaune di altar. Ia tidak peduli bahwa Gros sudah mencegahnya begitu rupa. Diraihnya tangan Jaune, lalu dibimbingnya untuk berdiri. Seketika itu juga, rasa sakit yang baru saja mendera tubuh Jaune, hilang begitu saja.

Jaune berdiri perlahan dengan bantuan Gai. Ayah memandangi mereka berdua dari seberang altar dengan tersenyum.

Jaune sangat terkejut melihat senyuman Ayah. Belum pernah ia melihat Ayah tersenyum seperti itu. Senyum yang berbeda, terlihat begitu indah, dan menimbulkan kedamaian dalam hatinya. Membuatnya melupakan rasa sakitnya.

Setelah memastikan bahwa Jaune sanggup berdiri sendiri, Gai berjalan perlahan meninggalkan altar. Ia melangkah turun namun berusaha untuk tetap berada dekat dengan Jaune.

“Ayah... mana hadiahnya? Kata Ayah, akan ada hadiah yang paling istimewa untukku?!” tanya Jaune.

Seisi ruangan tersenyum mendengarnya. Ayah pun tersenyum. “Ayah telah memberikannya kepadamu.”

“Di mana? Aku tidak melihatnya.”

“Lihatlah ke belakang. Kau akan menemukan apa yang baru saja Ayah berikan kepadamu.”

Jaune menolehkan kepalanya ke belakang perlahan-lahan. Dan terkejutlah ia dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya berubah ceria seketika. Ia berkali-kali memandanginya dan memandangi Ayah bergantian.

“Wah... Ayah sungguh-sungguh memberiku ini, ya?!” Jaune tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Ya.”

“Terima kasih Ayah! Aku senang sekali! Aku kan selalu berharap untuk mempunyai sayap seperti Gai, seperti Gros, dan seperti Nero.”

“Karena itulah, Ayah mengabulkan permintaanmu.”

“Ayah benar-benar baik sekali! Terima kasih ya, Ayah,” ujar Jaune.

Ia berkali-kali menolehkan kepalanya ke belakang dan menyentuh sayap itu, sayapnya. Rasanya lembut, persis seperti yang dirasakannya saat menyentuh sayap Nero.

Ia mencoba mengepakkan sayapnya. Dan senyumnya melebar saat melihat sayap yang menempel pada punggungnya itu bisa bergerak-gerak.

Semua yang hadir ikut merasakan kegembiraan itu.

“Jaune, hadiah itu tidak Ayah berikan secara cuma-cuma.”

Jaune yang masih sibuk dengan sayap barunya segera menengadah, menatap Ayah. Ia mengangkat alisnya, tidak mengerti. “Maksud Ayah, Ayah meminta hadiah juga dariku? Tapi, aku kan tidak bisa membuat sayap untuk Ayah.”

Seisi ruangan tertawa.

“Bukan begitu maksud Ayah. Kau tidak perlu memberi Ayah sayap, Ayah juga tidak membutuhkan sayap itu.”

“Jadi, apa yang harus kuberikan untuk Ayah?”

“Jaune, mulai hari ini, kau adalah bagian dari mereka semua, bagian dari para malaikat. Dan sama seperti semua malaikat yang ada di sini, kau juga Ayah beri tugas.”

Jaune semakin tidak mengerti, “Malaikat? Aku adalah malaikat?”

Ayah tersenyum, “Ya.”

“Apakah, semua malaikat punya sayap?”

Ayah menganggukkan kepalanya.

“Jadi, Nero juga malaikat, ya?!”

Tawa bergemuruh lagi.

“Nero bukan malaikat, tapi sahabat malaikat. Nero adalah sahabatmu. Karena sekarang kau adalah seorang malaikat, maka Nero adalah sahabat malaikat.”

“Ooo... begitu. Lalu, kenapa Ayah tidak punya sayap? Apakah Ayah bukan malaikat?”

Ayah tersenyum, “Ayah juga malaikat. Namun, karena Ayah yang memimpin semua malaikat, maka Ayah tidak membutuhkan sayap.”

“Ayah dapat terbang tanpa sayap?”

“Ya.”

“Wah... hebat! Sebenarnya, aku lebih suka jika dapat terbang tapi tanpa sayap, seperti Ayah. Mmm... tapi, mengapa Ayah memberiku hadiah ini? Memangnya apa yang harus kulakukan, Ayah?”

“Kau harus membantu makhluk yang disebut manusia. Mereka tinggal di bumi, jauh di bawah sana. Dan, agar kau lebih mengerti tugasmu, mulai besok kau akan ikut dengan Gai dan Gros ke bumi dan melihat apa yang mereka lakukan.”

“Aku masih belum mengerti. Tapi... baiklah, Ayah.”

Ayah tersenyum lega, bersama dengan semua yang hadir.

“Mmm... Ayah... bolehkah aku bertanya satu hal lagi?” tanya Jaune tiba-tiba.

“Silakan, Jaune.”

“Apa benar Ayah selalu tahu apa yang aku inginkan?”

“Tentu saja.”

“Ah, Ayah pasti berbohong. Ayah tidak tahu apa yang sedang kuinginkan.”

“Tentu saja Ayah tahu.”

“Tidak. Ayah tidak mengetahuinya.”

“Oh ya? Kalau begitu, coba katakan apa yang kau inginkan sebenarnya, dan Ayah pasti sudah mengetahuinya.”

Jaune tertunduk, takut. Ayah memandanginya dengan keheranan.

“Mengapa tidak kau katakan?”

Jaune terdiam lagi untuk beberapa saat.

“Sebenarnya, kalau aku boleh meminta lagi... aku ingin rambutku ini diluruskan, Ayah.”

06 Hadiah Ulang Tahun dari Ayah

Friday, October 20, 2006

Hati Jaune berdebar keras. Ia sudah tidak sabar menunggu acara pesta ulang tahunnya dimulai. Ia berusaha menenangkan diri berkali-kali, namun tetap saja merasa gugup. Berkali-kali itu pula ia berjalan mengelilingi kamarnya, hingga Nero merasa pusing melihatnya.

Saat Jaune tengah duduk di tepi tempat tidurnya, terdengar suara langkah Ayah, yang menandakan acara akan dimulai sebentar lagi. Ayah sudah datang untuk menjemputnya. Dada Jaune makin berdebar.

“Sudah siap, Jaune?” tanya Ayah saat membuka pintu kamar.

Jaune terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ayah, “Sudah, Ayah.”

Jaune dan Ayah meninggalkan kamar, beserta dengan Nero. Ayah menggandeng tangan Jaune yang mendadak menjadi dingin.

Ayah tersenyum kepadanya, “Tidak perlu takut.”

“Aku...aku takut, Ayah. Akan ada banyak orang di sana.”

“Tidak perlu takut. Ayah akan mendampingimu.”

“Sungguh ?”

“Sungguh.”

Jaune menjadi lebih tenang. Ia memantapkan langkahnya menuju ruangan pesta, membuat Ayah hampir tidak kuasa menahan tawanya.

Tiba-tiba, Jaune teringat akan sesuatu yang harus ia tanyakan, “Ayah, sebesar apa sih hadiah yang akan Ayah berikan?”

Ayah tertawa, “Ayah yakin, pasti seharian ini kau bertanya-tanya, apa yang akan Ayah berikan kepadamu.”

Jaune tersipu.

“Ayah tidak akan memberitahukan kepadamu, Jaune. Ayah ingin kau mengetahuinya sendiri nanti.”

“Ah, Ayah selalu begitu.”

Ayah tersenyum dan memandangi Jaune. Cantik sekali dia. Namun kini, Jaune sudah beranjak dewasa dan harus mulai memikul tugas dan tanggung jawabnya. Usia enam tahun yang justru membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.

Saat memasuki ruangan, Jaune tampak sedikit canggung karena begitu banyak mata yang memandanginya. Semuanya berdecak kagum melihat kecantikan Jaune.

Menyadari hal itu, ia cepat-cepat meraih tangan Ayah kembali, dan menggenggamnya erat-erat. Ayah tersenyum melihatnya.

Sementara itu, Nero segera turun kembali ke lantai dan berjalan mengikuti Jaune.

Setibanya di tengah-tengah ruangan, Ayah membimbing Jaune naik ke altar yang dihias dengan bunga-bunga berwarna putih. Di sekeliling altar itu, dihias dengan kain sutra berwarna putih mengkilap, sewarna dengan jubah Jaune.

Jaune menahan napasnya saat menaiki tangga satu-persatu. Setibanya di pusat altar itu, barulah ia menghela napasnya kembali.

Ia berdiri tegak di situ, sementara Ayah kembali menuruni anak-anak tangga. Ayah berjalan menuju lingkaran yang lebih kecil, di seberang tempat Jaune berdiri. Ayah menaiki tangga itu, lalu berdiri berhadapan dengan Jaune. Ia melempar senyum kepada Jaune, namun Jaune tidak sanggup membalas senyuman itu. Ia terlalu tegang.

“Hari ini, kita semua berkumpul di sini untuk merayakan kehadiran saudara kita masuk kedalam dunia kita. Di usianya yang baru enam tahun, Ayah yakin bahwa dia akan sanggup menerima tugas ini.”

Jaune terkejut bukan main mendengar kata-kata Ayah. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang Ayah bicarakan. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang keenam. Tapi, mengapa Ayah malahan berkata seperti itu. Jangan-jangan, Ayah lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Ayah menyadari kebingungan Jaune. Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Jaune, maafkan Ayah karena tidak memberitahukan kau sebelumnya. Pada hari ulang tahunmu yang keenam ini, Ayah sudah berjanji akan memberikan hadiah yang sangat istimewa. Seperti yang telah Ayah hadiahkan kepada semua orang di sini. Dan hari ini, adalah giliranmu untuk menerimanya.”

Jaune hanya memandangi Ayah tidak mengerti, namun ia mencoba untuk tetap tersenyum.

“Jaune, karena hadiah ini merupakan suatu kejutan dari Ayah, Ayah ingin kau menutup mata sebelumnya,” kata Ayah kemudian, membuat perasaan Jaune tidak menentu. Membuatnya terus bertanya-tanya.

Jaune menarik napasnya pelan, lalu memejamkan mata, seperti yang diperintahkan Ayah. Sementara itu, Nero yang sudah mengetahui apa yang akan terjadi, berdiri menjauh darinya.

05 Mengintip Ruang Pesta

Tuesday, October 17, 2006

WAJAH Jaune tampak terkejut saat ia melihat ruangan pesta dari celah pintu yang terbuka. Jaune sama sekali tidak menyangka bahwa ruangan pesta akan dihias begitu megahnya. Terlebih lagi, ruangan yang digunakan adalah sebuah ruangan khusus yang sangat luas, yang dapat menampung tamu hingga seribu orang, yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi Jaune.

Jaune selalu ingin masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang besar tanpa langit-langit, hingga bintang-bintang dan benda-benda angkasa lainnya dapat terlihat dari sana. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat suatu altar berbentuk lingkaran yang besar sekali, yang terbuat dari kristal. Di seberang altar itu terdapat satu buah lingkaran kristal yang lebih kecil, yang biasanya digunakan sebagai tempat Ayah berdiri memimpin pesta.

Ayah selalu saja melarang Jaune jika Jaune mulai berjalan mendekati ruangan itu. Seribu satu macam alasan dikemukakan Ayah, agar Jaune tidak memasukinya.

Namun kini, ruangan itu dipersiapkan Ayah untuk merayakan ulang tahunnya. Bukan main senangnya hati Jaune.

Ia dapat melihat ruangan yang dihias dengan warna putih itu sekilas, walaupun tidak seluruhnya, karena Jaune seharusnya tidak diperbolehkan melihat ruangan itu sebelum pesta dimulai.

Ruangan itu dipenuhi bunga-bunga berwarna putih, dengan aroma wangi yang luar biasa. Kain sutra berwarna putih, seperti milik Jaune, bertebaran di mana-mana. Dan berbagai hiasan berwarna putih tersebar di penjuru ruangan itu. Jaune terkesima dibuatnya.

“Hei! Apa yang kau lakukan di sini?”

Jaune terkejut mendengarnya. Ia menoleh, dan benar saja, Nero sudah berada di sampingnya mengepak-ngepakkan sayapnya. “Ah, kau selalu saja membuat aku terkejut.”

“Apa yang kau lakukan? Bukankah seharusnya kau tetap berada di kamar sebelum Ayah menjemputmu?”

“Ah Nero, aku sudah tidak sabar untuk melihat ruangan ini. Ternyata indah sekali.”

Nero turun menuju kaki Jaune. Ia menarik jubah Jaune dengan giginya. “Ayo! Atau nanti akan ada yang melihatmu di sini.”

“Nero! Jangan kau gigit jubahku. Nanti akan rusak,” ujar Jaune kesal. Tanpa disadarinya, ternyata suaranya terlalu keras, hingga terdengar oleh Gai.

Gai yang semula berada di dalam ruangan, keluar menghampiri Jaune. “Jaune, mau apa kau ke sini?”

Jaune terkejut bukan main, “Ti...tidak...Aku hanya kebetulan saja lewat, dan aku melihat ruangan ini sebentar.” Sementara itu Nero masih menggigit jubah Jaune. Jaune berkali-kali menendang-nendang ke arah Nero. Namun Nero tidak juga melepaskan gigitannya.

“Tidak perlu berbohong begitu padaku, Jaune. Aku tahu bahwa kau sudah lama berdiri di situ.”

Jaune menundukkan kepala, tidak berani menatap Gai.

“Sudahlah, aku tidak akan marah. Sekarang, cepatlah kembali ke kamarmu, sebelum Ayah atau Gros datang dan memarahimu karena menemukan kau berada di sini,” ujar Gai sambil tersenyum.

Jaune membalas senyuman Gai, segera berlari meninggalkan Gai di situ, diikuti Nero. Mereka berdua berlari menuju kamar Jaune, sebelum Ayah tiba di sana.

“Kelihatannya, Jaune sudah tidak sabar menunggu pesta ulang tahunnya di mulai,” ujar Gros seraya menghampiri Gai di depan pintu.

“Sepertinya begitu,” sahut Ayah, yang juga keluar dari ruangan itu.

“Ayah juga mendengarnya?” tanya Gai.

“Tentu saja Ayah mendengar semuanya. Tidak ada satu hal pun yang dapat kita sembunyikan dari Ayah, kan?!” tanya Gros seraya tersenyum, menggoda ke Ayah.

“Ayah, apakah Ayah yakin dengan keputusan Ayah ini?” tanya Gai tiba-tiba.

Ayah menghela napasnya, berat. “Ayah sudah memikirkannya lama sekali. Dan, Ayah tidak ragu lagi dengan keputusan yang Ayah ambil.”

“Bukankah Jaune masih terlalu muda untuk itu, Ayah?” lanjut Gros.

Ayah tersenyum. “Tidak. Jaune tidak terlalu muda. Mungkin di mata kalian, Jaune hanyalah seorang anak kecil yang baru saja berusia enam tahun. Namun, di mata Ayah, Jaune jauh lebih dewasa daripada yang kita bayangkan. Dan Ayah yakin, Jaune sanggup melakukan tugas-tugasnya.”

Gai dan Gros tidak membantah pernyataan Ayah. Namun, Ayah dapat melihat masih banyak keraguan yang tersimpan dalam mata mereka berdua.

Ayah menepuk pundak Gai dan Gros, lalu meninggalkan mereka berdua.

“Entahlah, aku masih meragukan Jaune,” ujar Gros sepeninggal Ayah.

“Aku juga. Tapi, Ayah sudah mengambil keputusan, dan aku yakin, keputusan yang diambil oleh Ayah adalah keputusan terbaik,” sahut Gai pelan.

“Apakah Jaune sudah siap ?”

Gai tersenyum. “Kau pikir, saat kita berdua menerima tugas ini, kita sudah siap? Kita belum siap, tapi kita harus. Dan Jaune akan mengalami hal yang sama juga di saat-saat pertama.”

“Usia kita saat itu sudah delapan tahun.”

“Gros, jangan samakan kita berdua dengan Jaune. Pasti ada hal istimewa dari dirinya, sehingga Ayah berani mengambil keputusan ini.”

Gros menghela napasnya, berat sekali. Ia lalu tersenyum. “Aku akan merindukan suasana seperti dulu. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana Jaune akan tumbuh menjadi dewasa. Mungkin kita tidak dapat bermain-main dengannya seperti dulu lagi.”

Gai tersenyum juga. Keduanya lalu meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju kamar masing-masing.