06 Hadiah Ulang Tahun dari Ayah

Friday, October 20, 2006

Hati Jaune berdebar keras. Ia sudah tidak sabar menunggu acara pesta ulang tahunnya dimulai. Ia berusaha menenangkan diri berkali-kali, namun tetap saja merasa gugup. Berkali-kali itu pula ia berjalan mengelilingi kamarnya, hingga Nero merasa pusing melihatnya.

Saat Jaune tengah duduk di tepi tempat tidurnya, terdengar suara langkah Ayah, yang menandakan acara akan dimulai sebentar lagi. Ayah sudah datang untuk menjemputnya. Dada Jaune makin berdebar.

“Sudah siap, Jaune?” tanya Ayah saat membuka pintu kamar.

Jaune terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ayah, “Sudah, Ayah.”

Jaune dan Ayah meninggalkan kamar, beserta dengan Nero. Ayah menggandeng tangan Jaune yang mendadak menjadi dingin.

Ayah tersenyum kepadanya, “Tidak perlu takut.”

“Aku...aku takut, Ayah. Akan ada banyak orang di sana.”

“Tidak perlu takut. Ayah akan mendampingimu.”

“Sungguh ?”

“Sungguh.”

Jaune menjadi lebih tenang. Ia memantapkan langkahnya menuju ruangan pesta, membuat Ayah hampir tidak kuasa menahan tawanya.

Tiba-tiba, Jaune teringat akan sesuatu yang harus ia tanyakan, “Ayah, sebesar apa sih hadiah yang akan Ayah berikan?”

Ayah tertawa, “Ayah yakin, pasti seharian ini kau bertanya-tanya, apa yang akan Ayah berikan kepadamu.”

Jaune tersipu.

“Ayah tidak akan memberitahukan kepadamu, Jaune. Ayah ingin kau mengetahuinya sendiri nanti.”

“Ah, Ayah selalu begitu.”

Ayah tersenyum dan memandangi Jaune. Cantik sekali dia. Namun kini, Jaune sudah beranjak dewasa dan harus mulai memikul tugas dan tanggung jawabnya. Usia enam tahun yang justru membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.

Saat memasuki ruangan, Jaune tampak sedikit canggung karena begitu banyak mata yang memandanginya. Semuanya berdecak kagum melihat kecantikan Jaune.

Menyadari hal itu, ia cepat-cepat meraih tangan Ayah kembali, dan menggenggamnya erat-erat. Ayah tersenyum melihatnya.

Sementara itu, Nero segera turun kembali ke lantai dan berjalan mengikuti Jaune.

Setibanya di tengah-tengah ruangan, Ayah membimbing Jaune naik ke altar yang dihias dengan bunga-bunga berwarna putih. Di sekeliling altar itu, dihias dengan kain sutra berwarna putih mengkilap, sewarna dengan jubah Jaune.

Jaune menahan napasnya saat menaiki tangga satu-persatu. Setibanya di pusat altar itu, barulah ia menghela napasnya kembali.

Ia berdiri tegak di situ, sementara Ayah kembali menuruni anak-anak tangga. Ayah berjalan menuju lingkaran yang lebih kecil, di seberang tempat Jaune berdiri. Ayah menaiki tangga itu, lalu berdiri berhadapan dengan Jaune. Ia melempar senyum kepada Jaune, namun Jaune tidak sanggup membalas senyuman itu. Ia terlalu tegang.

“Hari ini, kita semua berkumpul di sini untuk merayakan kehadiran saudara kita masuk kedalam dunia kita. Di usianya yang baru enam tahun, Ayah yakin bahwa dia akan sanggup menerima tugas ini.”

Jaune terkejut bukan main mendengar kata-kata Ayah. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang Ayah bicarakan. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang keenam. Tapi, mengapa Ayah malahan berkata seperti itu. Jangan-jangan, Ayah lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Ayah menyadari kebingungan Jaune. Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Jaune, maafkan Ayah karena tidak memberitahukan kau sebelumnya. Pada hari ulang tahunmu yang keenam ini, Ayah sudah berjanji akan memberikan hadiah yang sangat istimewa. Seperti yang telah Ayah hadiahkan kepada semua orang di sini. Dan hari ini, adalah giliranmu untuk menerimanya.”

Jaune hanya memandangi Ayah tidak mengerti, namun ia mencoba untuk tetap tersenyum.

“Jaune, karena hadiah ini merupakan suatu kejutan dari Ayah, Ayah ingin kau menutup mata sebelumnya,” kata Ayah kemudian, membuat perasaan Jaune tidak menentu. Membuatnya terus bertanya-tanya.

Jaune menarik napasnya pelan, lalu memejamkan mata, seperti yang diperintahkan Ayah. Sementara itu, Nero yang sudah mengetahui apa yang akan terjadi, berdiri menjauh darinya.