07 Sayap yang Baru Tumbuh

Wednesday, October 25, 2006

Ayah menarik napasnya, lalu mengangkat tangannya dengan telapak menghadap ke arah Jaune. Ayah memejamkan mata sesaat, lalu bersamaan dengan matanya yang terbuka, seberkas sinar terang menyelimuti tubuh Jaune. Langit di atas menjadi terang benderang, dengan matahari tepat berada di atas kepala Jaune. Puluhan burung berwarna putih terbang mengelilinginya.

Bersamaan dengan itu pula Jaune berteriak kesakitan. Makin lama teriakannya semakin keras, hingga memenuhi ruangan. Semua yang menyaksikan serentak menahan napas. Pemandangan itu sudah biasa mereka lihat, saat Ayah mengumumkan kehadiran malaikat baru. Namun bukan pada Jaune. Bukan pada anak sekecil itu.

Gai yang melihat kesakitan Jaune yang luar biasa itu, hampir tidak sanggup menahannya lagi. Jika saja Gros tidak meraih tangannya, Gai pasti sudah menyusul Jaune ke atas altar. Gai hanya bisa menatap Jaune tanpa dapat berbuat apa-apa. Ia bahkan bisa merasakan sakit luar biasa yang tengah melanda Jaune.

Teriakan itu makin keras dan makin keras. Setiap telinga yang mendengarnya seolah juga bisa merasakan kesakitan yang luar biasa.

Perlahan, bulu-bulu burung putih itu jatuh berterbangan di atas tubuh Jaune. Dan jumlahnya terus saja bertambah banyak hingga seluruh tubuh Jaune terselimuti oleh bulu-bulu itu. Seluruh tubuhnya menjadi tidak tampak karena tertutup.

Jaune tidak terlihat, namun teriakannya belum juga hilang.

Ia berusaha menahan kesakitannya. Ia terus berusaha agar tidak terjatuh. Ia mencoba tetap berdiri. Namun ia tidak lagi sanggup menahannya. Jaune jatuh terduduk bersamaan dengan memudarnya cahaya yang menyelimutinya.

Ayah menurunkan tangan dan membuka matanya. Dilihatnya Jaune yang tersungkur di atas altar.

Jaune yang baru.

Tak berapa lama, Jaune menengadahkan kepalanya, memandang Ayah yang masih berdiri di hadapannya. Ia mencoba berdiri, berulang kali, namun ia tidak dapat. Tubuhnya terasa lemah sekali.

Gai yang melihatnya, segera berlari dan menghampiri Jaune di altar. Ia tidak peduli bahwa Gros sudah mencegahnya begitu rupa. Diraihnya tangan Jaune, lalu dibimbingnya untuk berdiri. Seketika itu juga, rasa sakit yang baru saja mendera tubuh Jaune, hilang begitu saja.

Jaune berdiri perlahan dengan bantuan Gai. Ayah memandangi mereka berdua dari seberang altar dengan tersenyum.

Jaune sangat terkejut melihat senyuman Ayah. Belum pernah ia melihat Ayah tersenyum seperti itu. Senyum yang berbeda, terlihat begitu indah, dan menimbulkan kedamaian dalam hatinya. Membuatnya melupakan rasa sakitnya.

Setelah memastikan bahwa Jaune sanggup berdiri sendiri, Gai berjalan perlahan meninggalkan altar. Ia melangkah turun namun berusaha untuk tetap berada dekat dengan Jaune.

“Ayah... mana hadiahnya? Kata Ayah, akan ada hadiah yang paling istimewa untukku?!” tanya Jaune.

Seisi ruangan tersenyum mendengarnya. Ayah pun tersenyum. “Ayah telah memberikannya kepadamu.”

“Di mana? Aku tidak melihatnya.”

“Lihatlah ke belakang. Kau akan menemukan apa yang baru saja Ayah berikan kepadamu.”

Jaune menolehkan kepalanya ke belakang perlahan-lahan. Dan terkejutlah ia dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya berubah ceria seketika. Ia berkali-kali memandanginya dan memandangi Ayah bergantian.

“Wah... Ayah sungguh-sungguh memberiku ini, ya?!” Jaune tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Ya.”

“Terima kasih Ayah! Aku senang sekali! Aku kan selalu berharap untuk mempunyai sayap seperti Gai, seperti Gros, dan seperti Nero.”

“Karena itulah, Ayah mengabulkan permintaanmu.”

“Ayah benar-benar baik sekali! Terima kasih ya, Ayah,” ujar Jaune.

Ia berkali-kali menolehkan kepalanya ke belakang dan menyentuh sayap itu, sayapnya. Rasanya lembut, persis seperti yang dirasakannya saat menyentuh sayap Nero.

Ia mencoba mengepakkan sayapnya. Dan senyumnya melebar saat melihat sayap yang menempel pada punggungnya itu bisa bergerak-gerak.

Semua yang hadir ikut merasakan kegembiraan itu.

“Jaune, hadiah itu tidak Ayah berikan secara cuma-cuma.”

Jaune yang masih sibuk dengan sayap barunya segera menengadah, menatap Ayah. Ia mengangkat alisnya, tidak mengerti. “Maksud Ayah, Ayah meminta hadiah juga dariku? Tapi, aku kan tidak bisa membuat sayap untuk Ayah.”

Seisi ruangan tertawa.

“Bukan begitu maksud Ayah. Kau tidak perlu memberi Ayah sayap, Ayah juga tidak membutuhkan sayap itu.”

“Jadi, apa yang harus kuberikan untuk Ayah?”

“Jaune, mulai hari ini, kau adalah bagian dari mereka semua, bagian dari para malaikat. Dan sama seperti semua malaikat yang ada di sini, kau juga Ayah beri tugas.”

Jaune semakin tidak mengerti, “Malaikat? Aku adalah malaikat?”

Ayah tersenyum, “Ya.”

“Apakah, semua malaikat punya sayap?”

Ayah menganggukkan kepalanya.

“Jadi, Nero juga malaikat, ya?!”

Tawa bergemuruh lagi.

“Nero bukan malaikat, tapi sahabat malaikat. Nero adalah sahabatmu. Karena sekarang kau adalah seorang malaikat, maka Nero adalah sahabat malaikat.”

“Ooo... begitu. Lalu, kenapa Ayah tidak punya sayap? Apakah Ayah bukan malaikat?”

Ayah tersenyum, “Ayah juga malaikat. Namun, karena Ayah yang memimpin semua malaikat, maka Ayah tidak membutuhkan sayap.”

“Ayah dapat terbang tanpa sayap?”

“Ya.”

“Wah... hebat! Sebenarnya, aku lebih suka jika dapat terbang tapi tanpa sayap, seperti Ayah. Mmm... tapi, mengapa Ayah memberiku hadiah ini? Memangnya apa yang harus kulakukan, Ayah?”

“Kau harus membantu makhluk yang disebut manusia. Mereka tinggal di bumi, jauh di bawah sana. Dan, agar kau lebih mengerti tugasmu, mulai besok kau akan ikut dengan Gai dan Gros ke bumi dan melihat apa yang mereka lakukan.”

“Aku masih belum mengerti. Tapi... baiklah, Ayah.”

Ayah tersenyum lega, bersama dengan semua yang hadir.

“Mmm... Ayah... bolehkah aku bertanya satu hal lagi?” tanya Jaune tiba-tiba.

“Silakan, Jaune.”

“Apa benar Ayah selalu tahu apa yang aku inginkan?”

“Tentu saja.”

“Ah, Ayah pasti berbohong. Ayah tidak tahu apa yang sedang kuinginkan.”

“Tentu saja Ayah tahu.”

“Tidak. Ayah tidak mengetahuinya.”

“Oh ya? Kalau begitu, coba katakan apa yang kau inginkan sebenarnya, dan Ayah pasti sudah mengetahuinya.”

Jaune tertunduk, takut. Ayah memandanginya dengan keheranan.

“Mengapa tidak kau katakan?”

Jaune terdiam lagi untuk beberapa saat.

“Sebenarnya, kalau aku boleh meminta lagi... aku ingin rambutku ini diluruskan, Ayah.”