05 Mengintip Ruang Pesta

Tuesday, October 17, 2006

WAJAH Jaune tampak terkejut saat ia melihat ruangan pesta dari celah pintu yang terbuka. Jaune sama sekali tidak menyangka bahwa ruangan pesta akan dihias begitu megahnya. Terlebih lagi, ruangan yang digunakan adalah sebuah ruangan khusus yang sangat luas, yang dapat menampung tamu hingga seribu orang, yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi Jaune.

Jaune selalu ingin masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang besar tanpa langit-langit, hingga bintang-bintang dan benda-benda angkasa lainnya dapat terlihat dari sana. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat suatu altar berbentuk lingkaran yang besar sekali, yang terbuat dari kristal. Di seberang altar itu terdapat satu buah lingkaran kristal yang lebih kecil, yang biasanya digunakan sebagai tempat Ayah berdiri memimpin pesta.

Ayah selalu saja melarang Jaune jika Jaune mulai berjalan mendekati ruangan itu. Seribu satu macam alasan dikemukakan Ayah, agar Jaune tidak memasukinya.

Namun kini, ruangan itu dipersiapkan Ayah untuk merayakan ulang tahunnya. Bukan main senangnya hati Jaune.

Ia dapat melihat ruangan yang dihias dengan warna putih itu sekilas, walaupun tidak seluruhnya, karena Jaune seharusnya tidak diperbolehkan melihat ruangan itu sebelum pesta dimulai.

Ruangan itu dipenuhi bunga-bunga berwarna putih, dengan aroma wangi yang luar biasa. Kain sutra berwarna putih, seperti milik Jaune, bertebaran di mana-mana. Dan berbagai hiasan berwarna putih tersebar di penjuru ruangan itu. Jaune terkesima dibuatnya.

“Hei! Apa yang kau lakukan di sini?”

Jaune terkejut mendengarnya. Ia menoleh, dan benar saja, Nero sudah berada di sampingnya mengepak-ngepakkan sayapnya. “Ah, kau selalu saja membuat aku terkejut.”

“Apa yang kau lakukan? Bukankah seharusnya kau tetap berada di kamar sebelum Ayah menjemputmu?”

“Ah Nero, aku sudah tidak sabar untuk melihat ruangan ini. Ternyata indah sekali.”

Nero turun menuju kaki Jaune. Ia menarik jubah Jaune dengan giginya. “Ayo! Atau nanti akan ada yang melihatmu di sini.”

“Nero! Jangan kau gigit jubahku. Nanti akan rusak,” ujar Jaune kesal. Tanpa disadarinya, ternyata suaranya terlalu keras, hingga terdengar oleh Gai.

Gai yang semula berada di dalam ruangan, keluar menghampiri Jaune. “Jaune, mau apa kau ke sini?”

Jaune terkejut bukan main, “Ti...tidak...Aku hanya kebetulan saja lewat, dan aku melihat ruangan ini sebentar.” Sementara itu Nero masih menggigit jubah Jaune. Jaune berkali-kali menendang-nendang ke arah Nero. Namun Nero tidak juga melepaskan gigitannya.

“Tidak perlu berbohong begitu padaku, Jaune. Aku tahu bahwa kau sudah lama berdiri di situ.”

Jaune menundukkan kepala, tidak berani menatap Gai.

“Sudahlah, aku tidak akan marah. Sekarang, cepatlah kembali ke kamarmu, sebelum Ayah atau Gros datang dan memarahimu karena menemukan kau berada di sini,” ujar Gai sambil tersenyum.

Jaune membalas senyuman Gai, segera berlari meninggalkan Gai di situ, diikuti Nero. Mereka berdua berlari menuju kamar Jaune, sebelum Ayah tiba di sana.

“Kelihatannya, Jaune sudah tidak sabar menunggu pesta ulang tahunnya di mulai,” ujar Gros seraya menghampiri Gai di depan pintu.

“Sepertinya begitu,” sahut Ayah, yang juga keluar dari ruangan itu.

“Ayah juga mendengarnya?” tanya Gai.

“Tentu saja Ayah mendengar semuanya. Tidak ada satu hal pun yang dapat kita sembunyikan dari Ayah, kan?!” tanya Gros seraya tersenyum, menggoda ke Ayah.

“Ayah, apakah Ayah yakin dengan keputusan Ayah ini?” tanya Gai tiba-tiba.

Ayah menghela napasnya, berat. “Ayah sudah memikirkannya lama sekali. Dan, Ayah tidak ragu lagi dengan keputusan yang Ayah ambil.”

“Bukankah Jaune masih terlalu muda untuk itu, Ayah?” lanjut Gros.

Ayah tersenyum. “Tidak. Jaune tidak terlalu muda. Mungkin di mata kalian, Jaune hanyalah seorang anak kecil yang baru saja berusia enam tahun. Namun, di mata Ayah, Jaune jauh lebih dewasa daripada yang kita bayangkan. Dan Ayah yakin, Jaune sanggup melakukan tugas-tugasnya.”

Gai dan Gros tidak membantah pernyataan Ayah. Namun, Ayah dapat melihat masih banyak keraguan yang tersimpan dalam mata mereka berdua.

Ayah menepuk pundak Gai dan Gros, lalu meninggalkan mereka berdua.

“Entahlah, aku masih meragukan Jaune,” ujar Gros sepeninggal Ayah.

“Aku juga. Tapi, Ayah sudah mengambil keputusan, dan aku yakin, keputusan yang diambil oleh Ayah adalah keputusan terbaik,” sahut Gai pelan.

“Apakah Jaune sudah siap ?”

Gai tersenyum. “Kau pikir, saat kita berdua menerima tugas ini, kita sudah siap? Kita belum siap, tapi kita harus. Dan Jaune akan mengalami hal yang sama juga di saat-saat pertama.”

“Usia kita saat itu sudah delapan tahun.”

“Gros, jangan samakan kita berdua dengan Jaune. Pasti ada hal istimewa dari dirinya, sehingga Ayah berani mengambil keputusan ini.”

Gros menghela napasnya, berat sekali. Ia lalu tersenyum. “Aku akan merindukan suasana seperti dulu. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana Jaune akan tumbuh menjadi dewasa. Mungkin kita tidak dapat bermain-main dengannya seperti dulu lagi.”

Gai tersenyum juga. Keduanya lalu meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju kamar masing-masing.