16 Pulang dengan Tangan Hampa

Saturday, December 30, 2006

Saat baru saja terbang beberapa saat, Gai dan Gros rupanya sudah menunggu. Mereka berdua akhirnya pulang bersama dengan Jaune. Nero pun menyusul.

Setibanya di rumah, Ayah langsung datang menghampiri Jaune.

“Bagaimana tugas pertamamu? Berapa banyak orang yang sudah kau bantu?”

Jaune menarik kedua ujung bibirnya, “Ah, Ayah jangan pura-pura tidak tahu begitu. Ayah pasti sudah melihat kalau aku belum berhasil menolong siapa-siapa.”

Gai, Gros, dan Nero terbelalak mendengarnya.

“Bukankan kau sudah turun ke bumi bersama kami tadi?” tanya Gai dengan herannya.

“Iya. Memang.”

Gros menyahut, “Lalu, apa saja yang sudah kau lakukan sepanjang hari tadi?”

Jaune mendadak cemberut. Ia membalikkan badannya membelakangi mereka semua, “Tanyakan saja pada Ayah. Ayah mengetahui semuanya,” katanya seraya meninggalkan mereka semua.

Jaune terbang menuju ke kamarnya. Lagi-lagi Nero menyusul di belakang.

Ayah tertawa. Gai dan Gros memperhatikan Ayah dengan heran.

“Apa yang lucu, Ayah?” tanya Gros.

“Iya, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Gai tak kalah heran.

“Begini. Selama Jaune turun ke bumi tadi, dia menghabiskan waktunya dengan berputar-putar, tanpa tujuan yang jelas. Ia tidak tahu harus pergi ke mana dan apa yang harus dilakukan. Dan tentang itu, Ayah yakin kau sudah mengetahuinya kan, Gai?”

Gai mengangguk, menunggu Ayah melanjutkan kata-katanya.

“Jadi, apa yang sudah dilakukan Jaune hari ini? Apakah benar-benar tidak ada tugas yang diselesaikannya?” tanya Gros.

“Tidak. Jaune tidak menyelesaikan tugasnya satu pun.”

“Astaga...”

Ayah tersenyum, “Sudahlah... Jangan berpikir macam-macam. Ayah yakin, besoklah hari pertamanya bertugas.”

Gros mengerutkan dahinya, “Maksud Ayah...?”

Ayah menghela napasnya, panjang, “Gai, Gros, Jaune itu masih kecil. Seistimewa apapun dia, tetaplah ini menjadi hal baru yang harus dihadapinya. Ia tidak dapat secepat itu langsung menyelesaikan tugasnya, tanpa ia tahu persis apa yang harus dilakukannya.”

“Lalu, mengapa Ayah mengangkatnya menjadi anggota kami?” tanya Gros lagi.

“Karena Ayah percaya padanya.”

Gai dan Gros terdiam. Mereka tahu apa maksud di balik kata-kata Ayah itu. Kalau Ayah sudah memberikan kepercayaan sedemikian rupa, Ayah tidak akan meragukan Jaune.

“Begini. Setelah Jaune menghabiskan waktunya untuk berputar-putar tadi, ia telah menemukan sesuatu yang menarik.”

Gai bertanya lagi, “Apa itu?”

“Jaune telah melihat desa Volk.”

“Desa Volk? Desa warna-warni itu?” lanjut Gai lagi.

“Ya.”

“Lalu? Apa yang dilakukannya?” tanya Gros.

“Jaune mengunjungi desa Volk. Ia mengamati setiap sudut desa itu. Kalian pasti tahu mengapa. Karena desa Volk itu penuh warna, dan Jaune sangat menyukai hal yang penuh warna, seperti dia menyukai pelangi.”

Gai dan Gros mengangguk-angguk, menyimak setiap kata-kata Ayah dengan baik.

“Jaune mengamati dengan baik, dan menemukan berbagai hal asing, yang tidak sama dengan semua tempat lain di bumi. Ya... dengan air terjunnya, purinya, rumah penduduknya, dan segalanya. Namun, ternyata Jaune menyadari bahwa tidak ada seorang pun di sana, yang dapat ia temui. Jaune sudah berusaha mencarinya ke setiap rumah, dan ia tetap tidak menemukannya. Akhirnya, ia pulang dengan kesal, karena tidak berhasil melakukan apapun.”

Gai tampak berpikir sejenak, “Lalu, apa maksud Ayah bahwa ia akan memulai tugas pertamanya besok?”

“Seperti Jaune yang kita kenal, ia selalu ingin mengetahui segala hal yang masih baru.”

“Jadi, karena Jaune merasa penasaran dengan desa Volk, maka besok Jaune akan ke sana lagi untuk melihat kembali” sahut Gros.

“Tepat sekali. Dan Ayah rasa, pencarian akan tempat bertugas pun akan berakhir besok. Ia akan menemukan tempat di mana ia merasa cocok untuk bertugas.”

“Kalau begitu, tidak adayang perlu dikhawatirkan terhadap adik kami yang satu itu kan, Ayah?” tanya Gai lega.

“Tentu saja. Dan sekarang, ia pasti tengah menceritakan apa yang dilihatnya tadi kepada Nero.”