36 Desa Volk Siap Berpesta

Wednesday, November 19, 2008

Desa Volk sekarang tampak mirip sekali dengan rumahnya. Bahkan, yang bukan berwarna putih pun, seperti tanaman dan rumah-rumah penduduk, tetap dihias agar seolah-olah berwarna putih dengan pita-pita berwarna putih disekelilingnya.

Jaune takjub melihatnya. Sungguh luar biasa desa itu. Memang, pemandangan di desa Volk ini tidak seindah pemandangan di rumahnya.

Jaune dan Vann Thom tiba di tempat pesta. Di situ, beberapa arsitek masih sibuk untuk mempersiapkan perabotan-perabotan yang digunakan untuk menghias. Ada lampu bulat yang tinggi sekali, ada bunga-bunga putih yang ditempatkan dalam vas-vas bunga, dan tentu saja, ada meja makan-meja makan yang sangat banyak. Meja makan itu akan ditempati oleh tiap-tiap keluarga. Meja yang bulat-bulat kecil itu masing-masing untuk satu keluarga. Karena Jaune tidak memiliki keluarga di situ, ia bergabung bersama meja makan Kaisar Nikolai yang sangat besar, yang dapat menampung Kaisar Nikolai dan kesepuluh asistennya, termasuk Vann Thom dan Quilt, dan juga Wizard.

Sementara itu di sekeliling tempat pesta, ada kereta-kereta dorong yang besar, yang digunakan untuk membawa makanan dari istana ke tempat pesta. Para juru masaklah yang bertugas menjalankannya. Setelah kereta dorong itu penuh dengan makanan, dan semua makanan telah terangkut, maka dibawalah semua makanan ke tempat pesta.

Saat makan tiba, mereka harus menunggu para juru masak menyelesaikan tugasnya. Mereka akan menyajikan makanan-makanan itu ke tiap-tiap meja makan, termasuk meja makan mereka sendiri. Setelah semuanya tersaji, yang lain belum boleh makan terlebih dahulu. Mereka harus menunggu para juru masak tiba di meja makannya, barulah mereka memulai acara bersantap bersama.

Jaune berkali-kali mengagumi keindahan tempat itu.

Akhirnya ia menarik tangan Vann Thom untuk masuk ke dalam rumah mango.

Wizard sudah siap saat mereka datang berkunjung.

“Hai, Wizard!” sapa Jaune begitu ia menemukan Wizard yang tengah duduk-duduk melihat keluar rumahnya.

“Hai, Woody! Cepat sekali kau datang! Ada apa?”

“Tidak. Aku hanya ingin berkunjung saja. Aku ingin melihat apakah kau sudah siap.”

“Tentu saja aku sudah siap.”

“Aku juga sudah. Vann Thom juga.”

“Bagus, kalau begitu.”

“Lalu, kenapa pestanya tidak segera dimulai? Sepertinya semua orang sudah siap.”

Wizard tertawa, “Woody, kau pasti lupa bahwa ini adalah pesta ulang tahun Kaisar Nikolai! Tentu saja kita harus menunggu Kaisar Nikolai siap.”

“Oh, iya! Aku hampir saja lupa,” kata Jaune sambil tertawa.

“Lagipula, Draco juga belum siap.”

“Ya! Aku belum melihat Draco. Apakah dia sedang tidur, Wizard? Aku ingin melihatnya mengenakan pita besar di leher.”

“Sabarlah… Dia memang sedang kesulitan mengenakan pita itu. Ia bahkan membutuhkan bantuan beberapa pelayan istana untuk mengenakannya.”

“Wah… aku ingin melihatnya!” seru Jaune semakin bersemangat dan segera berlari meninggalkan Wizard serta Vann Thom.

35 Warna Putih untuk Kaisar

Friday, November 14, 2008

SEPERTINYA pesta ulang tahun Kaisar Nikolai kali ini akan sangat meriah. Persiapan yang dilakukan pun tidak seperti biasanya.

Pesta akan diadakan di dekat air terjun dan rumah mango, seperti tahun-tahun sebelumnya. Semua pohon yang tumbuh di desa itu akan dihias dengan pita-pita berwarna putih, warna yang selama ini tidak pernah ada di desa Volk. Pita-pita itu akan diikatkan di tiap dahan pohon.

Tiap rumah penduduk juga akan dihias dengan pita berwarna putih. Rumah-rumah berbentuk jamur itu terlihat sangat indah dihiasi dengan pita-pita.

Binatang-binatang pun dihias dengan menggunakan pita putih. Pita akan diikatkan di leher mereka. Rusa, burung, bebek, angsa dan banyak binatang lainnya, semua mengenakan pita berwarna putih. Tak ketinggalan, Draco juga mengenakannya. Hanya saja untuk Draco bukanlah sebuah pita. Draco harus mengenakan beberapa kain berukuran bendera kerajaan sekaligus.

Selain itu, penduduk desa Volk pun tidak mau ketinggalan. Pakaian mereka yang berwarna putih, yang telah disimpan selama satu tahun, kini dikeluarkan lagi dan dikenakan. Rambut mereka yang berwarna-warni itu pun kini disisir rapi ke atas. Kaum pria mengikat rambutnya dengan pita putih, yang membuat mereka terlihat seperti pembersih debu. Kaum wanitanya mengenakan kerudung berwarna putih yang terlihat sangat lucu. Karena untuk menutupi seluruh rambutnya, kerudung itu tampak menjulang tinggi.

Untuk anak-anak, mereka tidak mengenakan apa-apa pada bagian rambut. Hanya pakaian mereka yang berwarna putih saja. Namun, kali ini mereka juga mengenakan sepatu putih, seperti yang dikenakan oleh orang-orang dewasanya.

Di dalam istana, kesibukan yang sama juga tengah terjadi.

Para juru masak kerajaan tengah mempersiapkan makanan untuk pesta nanti. Seperti biasa, selalu ada burung merpati panggang. Tiap-tiap keluarga akan mendapatkan seekor merpati panggang itu. Selain itu, ada tomat panggang yang dimakan dengan saus mangga. Makanan itu selalu menjadi kesukaan kaum Volk. Ada juga sup kuah durian, yang aromanya sangat menggugah selera. Apel tumis pedas yang rasanya luar biasa hangat. Dan berbagai hidangan lainnya disajikan.

Sedangkan, minuman anggur merah pun tidak kalah sedapnya. Minuman ini sangat nikmat bila disantap bersama dengan merpati panggang. Lalu ada macam-macam sari buah lainnya, di antaranya timun-seledri, durian-bayam, kiwi-daun pepaya, dan banyak lagi, yang semuanya itu merupakan minuman kesukaan kaum Volk.

Beberapa orang arsitek segera pergi ke tempat pesta untuk mendekorasinya. Tentu saja semuanya menggunakan warna putih.

Para penjaga tengah mempersiapkan seragam mereka yang paling istimewa, yaitu seragam berwarna putih. Kali ini mereka tidak membawa tombak, tapi membawa pedang dengan gagang berwarna putih.

Asisten-asisten Kaisar Nikolai juga tengah bersiap. Mereka datang bergantian ke kamar Kaisar, untuk memastikan apakah semua perlengkapan Kaisar telah siap.

Begitu juga dengan Jaune. Pakaian yang diberikan Kaisar kepadanya semalam ternyata terlalu besar untuknya. Untung saja Vann Thom pandai menjahit. Jaune segera meminta Vann Thom untuk memperbaiki pakaiannya itu.

Sepatu dari kulit tumbuhan berwarna putih itu pun terlalu besar untuk ukuran kakinya. Vann Thom harus memperbaikinya juga untuk Jaune.

Vann Thom cepat-cepat merapikan dirinya setelah ia selesai membantu Jaune. Ia juga mengenakan pakaian putih seperti yang lainnya. Dengan sepatu putih, dan pita warna putih yang diikatkan di rambutnya.

Sementara itu. Kaisar Nikolai juga tengah berias bersama-sama dengan asisten-asistennya. Ia mengenakan jubah besar yang berwarna putih, dengan ikat pinggang dari anyaman tali berwarna putih juga. Ia juga mengenakan sepatu kulit tanaman berwarna putih. Dan tentu saja, tak lupa dikenakannya mahkota anyam-anyaman daun berwarna putih, dikenakan pada kepalannya.

Vann Thom masih mempersiapkan dirinya, saat Jaune mengajaknya untuk keluar terlebih dahulu.

“Kita mau ke mana, Woody?” tanya Vann Thom saat Jaune menarik tangannya keluar istana.

“Ke tempat pesta itu. Aku ingin melihatnya, Vann Thom.”

“Kita semua akan melihatnya nanti saat pesta dimulai. Mengapa kita tidak menunggu saja bersama yang lainnya?”

“Tidak bisa. Aku ingin melihatnya sekarang. Lagipula, aku juga ingin melihat bagaimana Wizard dan Draco bersiap-siap.”

“Apakah kau tidak dapat bersabar sebentar saja, Jaune?”

“Tidak!”

Seketika Vann Thom menyesal karena mengajukan pertanyaan tadi. Ia pun mengikuti langkah Jaune keluar istana. Mereka pergi ke tempat pesta, di dekat rumah mango.

Sepanjang perjalanan menuju rumah mango, mereka melihat orang-orang berjalan lalu-lalang. Mereka semua mengenakan pakaian putih, dan perhiasan serba putih. Baru kali inilah Jaune melihat suasana seperti ini.

34 Menyambut Kepulangan Jaune

Friday, November 07, 2008

“Apa yang membuatmu sedih begitu?” tanya Ayah saat menemui Nero di kamarnya.

“Jaune… seperti bukan Jaune yang kukenal, Ayah… Aku… aku merasa kehilangan dia.”

Ayah tersenyum. Ia segera menghampiri Nero dan memeluknya, “Tentu saja tidak. Kau tidak pernah kehilangan dia, Nero.”

“Tapi aku sudah kehilangan Jaune, Ayah.”

“Tidak, Nero. Mungkin sekarang kau hanya sedang sangat merindukannya. Lagipula, Jaune pasti akan pulang kembali ke rumah ini lagi bersama dengan kita.”

“Benarkah itu, Ayah?”

“Tentu saja.”

Nero menghela napasnya panjang, “Tapi… Sepertinya Jaune memang belum siap untuk bertugas.”

“Maksudmu?”

“Dia masih terlalu kecil. Dia masih terlalu suka bersenang-senang, jadi mungkin belum tahu tugas apa yang sebenarnya harus ia kerjakan.”

“Kalau menurut Ayah, dia sudah cukup paham dengan tugasnya. Hanya saja, ya mungkin dia lupa.”

“Tapi, Ayah…”

Ayah tersenyum, “Sudahlah, Nero. Kita tahu bahwa Jaune memang masih kecil, dan seperti yang kau katakan, mungkin dia masih ingin bermain-main. Tapi Ayah yakin, suatu saat ketika harus menyelesaikan masalah, saat itulah ia akan menjadi dewasa.”

“Kapan itu, Ayah?”

“Tidak lama lagi.”

 

∗ ∗ ∗


 

Jaune mencoba untuk memejamkan matanya dan tidur. Namun tidak berhasil. Ia masih memikirkan Nero, dan juga apa yang telah dikatakan sahabatnya itu tadi.

Benarkah aku telah melakukannya? Benarkah aku telah menggunakan kemampuan malaikatku hanya untuk dipuji oleh teman-teman dan Kaisar? Benarkah bahwa aku sudah lupa akan tugasku? Nero pasti marah sekali padaku. Aku tidak ingin membuatnya marah, dan sedih. Tapi apa yang harus kulakukan?

Jaune bingung sekali.

Akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang, walaupun hanya sebentar.

Ia segera mengubah wujudnya kembali seperti semula. Dengan jubah putih, sayap, dan rambut pirangnya yang keriting itu.

Secepat kilat, Jaune meninggalkan kamarnya dan istana Kaisar Nikolai. Ia terbang kembali ke rumahnya. Nero pasti sedang menunggu kedatangannya di sana.

Benar saja. Saat baru tiba di pintu gerbang, Nero sudah menyadari kehadirannya. Nero yang semula berada di kamar dan hendak tidur, langsung keluar. Ia cepat-cepat terbang menuju pintu gerbang untuk menyambut kedatangan Jaune.

Saat melihat sahabatnya itu, Nero segera menabraknya dan memeluk Jaune. Jaune tertawa-tawa melihatnya.

“Akhirnya kau pulang juga!” seru Nero kegirangan.

“Tentu saja,” Jaune lalu melepaskan pelukan Nero, “Nero, maafkan aku karena membuatmu marah. Aku tidak bermaksud begitu. Maafkan aku, ya...”

Nero tersenyum, “Sudahlah, Jaune. Aku sudah memaafkanmu.”

“Kalau begitu, sekarang antarkan aku ke kamar Ayah. Aku juga ingin bertemu dengannya.”

“Tentu saja.”

Mereka berdua pun berjalan menuju ke kamar Ayah.

Ayah yang juga sudah mengetahui kedatangan Jaune segera menyambutnya dengan gembira. Ia memeluk Jaune erat sekali.

“Ayah sangat merindukanmu, Jaune.”

“Aku juga, Ayah.”

“Kenapa baru sekarang kau kembali ke sini?”

“Maafkan aku, Ayah. Kalau saja tadi Nero tidak datang dan memarahiku, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang. Aku memang merindukan kalian semua. Maafkan aku, ya…”

Ayah tersenyum, melepaskan pelukannya lalu menatap Jaune.

“Sudahlah, Ayah dan Nero sudah memaafkanmu.”

“Aku… aku juga minta maaf karena telah melakukan kesalahan.”

Ayah mengerutkan keningnya, tidak mengerti, “Kesalahan apa?”

Suara Jaune memelan, “Mmm… Nero belum bercerita pada Ayah? Yaahh... seperti yang dikatakan Nero tadi, Ayah.”

Lagi-lagi Ayah tersenyum, “Ayah senang mendengarnya. Mungkin kau hanya lupa, kau sedang menikmati pujian yang diberikan kepadamu. Dan memang bukan itu yang seharusnya kau lakukan. Semestinya kau membantu manusia, bukan dengan caramu itu. Tapi Ayah yakin, kau sudah menyadari kesalahanmu.”

Jaune menatap Ayah dan Nero bergantian, “Aku harus berterima kasih padamu, Nero. Kalau kau tidak datang dan marah-marah seperti tadi, mungkin aku akan terus melakukannya.”

Nero tertawa, “Berterima kasihlah kepadaku, Jaune! Karena memang akulah sahabatmu yang baik hati!”

Mereka semua tertawa.

Tiba-tiba, muncullah Gai dan Gros ke dalam kamar itu juga. Mereka sama terkejutnya seperti Nero saat melihat kedatangan Jaune.

Gai langsung mendekati Jaune, “Jaune? Kaukah itu?”

Saat Jaune menggelengkan kepalanya sambil menahan senyuman, barulah Gai memeluknya erat sekali. Ia yakin hanya adiknya yang satu itu yang melakukan hal itu. Gai bahkan memeluknya sangat erat sampai hampir membuat Jaune sesak napas.

“Gai… hentikan, Gai! Kau… aku… aku tidak bisa… berna…pas…”

Sesaat itu Gai pun melepaskan pelukannya, “Maafkan aku. Maaf…”

Belum selesai Jaune menarik napas lega, Gros gantian memeluknya. Hanya sebentar, “Selamat datang kembali, Jaune.”

Jaune kemudian mengerutkan keningnya, “Tunggu… tunggu… Bagaimana kalian bisa datang ke sini tiba-tiba? Kalian juga sudah tahu kalau aku datang?”

“Tidak. Ayah meminta kami datang, tapi sudah agak lama. Kami baru bisa datang sekarang karena ada tugas yang harus kami selesaikan,” jawab Gai.

“Jadi, apa yang ingin Ayah bicarakan?” lanjut Gros.

Ayah menggeleng, “Tidak ada. Ayah memang hanya ingin memberitahu kedatangan Jaune.”

Jaune mengernyitkan dahi, “Tapi, aku kan baru saja datang, Ayah. Kapan Ayah memberitahu mereka? Aku tidak melihat Ayah berbicara pada siapapun selain aku dan Nero?!”

Nero tiba-tiba tersenyum, “Aku tahu! Pasti Ayah sudah tahu bahwa Jaune akan datang sejak aku pulang tadi, kan?!”

Ayah ikut tersenyum dan mengangguk, “Dan Jaune tidak akan lama berada di sini. Benar begitu kan, Jaune?!”

Jaune menundukkan kepalanya, diam.

Tak lama, barulah ia menjawab, “Iya, Ayah. Aku pulang sebentar hanya ingin mengatakan kalau kalian tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Aku memang belum bisa pulang karena belum menyelesaikan tugasku.”

Nero, Gai, dan Gros pun terkejut.

“Kau… kau akan kembali ke desa Volk lagi?” tanya Nero.

“Maaf, Nero. Aku harus kembali untuk menyelesaikan tugasku.”

Hening seketika.

“Sudahlah, kalian tidak perlu bersedih seperti itu. Jaune harus menyelesaikan tugasnya. Dia pasti akan pulang jika sudah selesai,” kata Ayah.

Setelah beberapa saat saling melepaskan rindu, Jaune pun akhirnya berpamitan. Ia kembali terbang menuju desa Volk setelah melambaikan tangan kepada mereka semua. Nero, Gai, dan Gros memandang kepergian Jaune dengan sedih. Mereka ingin mencegah Jaune agar tidak kembali lagi ke desa Volk, tetapi mereka juga mendengar apa yang dikatakan Ayah. Mereka pun hanya berharap agar Jaune segera pulang kembali.

33 Belum Saatnya Pulang

Monday, November 03, 2008

“Aku tidak ingin membuat semua orang menjadi terkejut. Jika aku mengatakannya, mereka pasti tidak akan percaya bahwa aku adalah sama dengan mereka.”

“Tapi bukankah kalau begitu sama saja kau membohongi mereka?”

“Tidak. Aku tidak membohongi mereka. Saat Frau Schön menanyakan apakah aku menguasai bahasa lain, aku menjawab bahwa aku menguasai Bahasa Perancis dan Bahasa Inggris. Bukan berarti aku tidak menguasai bahasa lainnya. Aku kan tidak mengatakan bahwa hanya itu saja bahasa yang aku kuasai.”

Nero menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau sudah keterlaluan, Jaune!” lanjutnya, “Lalu, ada apa lagi?”

Wajah Jaune yang semula tegang, kini kembali cerah.

“Aku sudah berhasil menguasai ilmu sihir! Aku bisa memindahkan gelas dan piring tanpa menyentuhnya. Dan aku berhasil melakukannya hanya dengan sekali mencobanya saja. Padahal, teman-temanku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa melakukan itu.”

Lagi-lagi, Nero terkejut dan membelalakan matanya, “Kau sudah gila?”

“Tidak.”

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Kenapa? Apakah yang kulakukan itu salah, Nero?”

“Tentu saja!”

“Aku tidak mengerti.”

“Kau salah! Salah besar! Kau telah menggunakan kekuatanmu untuk kesenanganmu sendiri. Kau tahu bahwa kau dapat memindahkan barang itu tanpa menyentuhnya, karena kau memang memiliki kemampuan untuk itu. Dan kau sengaja memperlihatkan itu kepada teman-temanmu agar mereka memujimu.”

“Aku tidak bermaksud begitu.”

“Tentu saja kau bermaksud begitu. Kau ingin mereka mengagumimu, kan?!”

“Tidak.”

“Lalu, kenapa kau melakukannya?”

“Aku hanya ingin memberikan semangat kepada mereka, agar mereka tidak putus asa. Jika aku saja bisa melakukannya, mereka juga pasti bisa. Apakah itu salah?”

“Tentu saja. Apa yang bisa kau lakukan, belum tentu bisa mereka lakukan. Apakah kau lupa, bahwa kau adalah seorang malaikat? Kau tidak sama seperti mereka. Banyak hal yang bisa kau lakukan, tapi tidak bisa mereka lakukan.”

“Aku tahu itu, Nero. Tapi, untuk hal itu aku rasa mereka bisa. Mereka kan sedang belajar ilmu sihir.”

“Lalu, kenapa kau menceritakan keberhasilanmu itu kepada semua orang? Wizard, Draco, Kaisar Nikolai, semuanya. Apakah kau ingin semua orang tahu bahwa kau telah berhasil hari ini?”

“Tentu saja. Aku kan ingin mereka juga merasa gembira, dan mereka memang tampak senang mendengar ceritaku. Berarti, aku sudah membuat mereka bahagia juga, kan?!”

Nero merebahkan tubuhnya di tempat tidur Jaune, “Entahlah, Jaune. Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi.”

“Memangnya kau ingin mengatakan apa?”

Mendengar pertanyaan itu, Nero menghela napasnya. Ia sudah kehabisan akal, tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya pada Jaune.

Belum terdengar apa-apa lagi dari mulut Nero, Jaune tiba-tiba teringat sesuatu, “Nero, kenapa kau ke sini? Pasti kau bukan datang hanya untuk memarahiku, kan?!”

“Ayah yang mengirimku.”

“Lho, tapi Ayah kan bisa mengetahui keadaanku tanpa harus menyuruhmu datang?!”

“Itu juga yang dikatakan Ayah,” lanjut Nero pelan, “Memang aku yang memaksa agar aku boleh menengokmu. Karena itulah Ayah langsung mengirimku ke sini, jadi aku tidak perlu terbang dari rumah.”

“Jadi kenapa kau datang?”

“Aku rindu padamu, Jaune,” Nero melunak, “Sudah beberapa hari aku tidur sendiri. Gai dan Gros tidak mungkin menemani, karena mereka pasti tidur di kamar mereka sendiri. Setiap malam aku selalu memikirkanmu, sedang apa kau di sini. Rumah rasanya sepi sekali, Jaune.”

Jaune segera memeluk Nero yang mulai menangis, “Aku juga rindu padamu.”

“Kalau begitu, pulanglah. Walau hanya sebentar.”

“Aku tidak bisa, Nero. Tugasku di sini belum selesai. Orang-orang di sini pun pasti akan bingung kalau aku tiba-tiba pergi.”

“Masih ada tugas-tugas yang bisa kau selesaikan di tempat lain, Jaune.”

“Tentu saja. Aku pasti akan menyelesaikannya setelah aku selesai di sini.”

Nero menghela napasnya. Ia melepaskan pelukan Jaune, “Jadi, kau tidak akan pulang sekarang?”

Jaune menggelengkan kepalanya dengan sedih, “Maaf ya, Nero.”

Nero membalikkan tubuhnya, lalu terbang begitu saja meninggalkan Jaune tanpa mengucapkan apa pun.