19 Volk yang Selalu Tersenyum

Tuesday, January 23, 2007

DIKEPAKKANNYA sayap menuju bumi. Tidak cepat, tapi juga tidak lambat. Jaune tidak berniat mempercepat perjalanannya itu sama sekali.

Kali ini Nero yang mulai merasa tidak sabar.

“Jaune, tidakkah sebaiknya kau terbang lebih cepat?”

“Kenapa harus terburu-buru? Nanti aku juga akan sampai di sana.”

“Iya, memang... Tapi masih banyak tugas yang harus kita kerjakan hari ini. Jika terbang dengan kecepatan seperti ini, bagaimana bisa terselesaikan tugas-tugas kita nanti?!”

“Ah, Nero. Kenapa sih kau selalu begitu? Aku kan suka terbang seperti ini?!”

Nero menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mulai habis kesabarannya menghadapi sahabatnya yang satu ini.

“Ya sudah, terserah kau saja. Aku akan terbang lebih dulu kalau begitu. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan hari ini.”

“Baiklah.”

Nero pun terbang menjauh, meninggalkan Jaune yang kelihatannya masih menikmati penerbangannya.

Kepala Jaune masih dipenuhi oleh segala hal tentang desa Volk yang baru saja dilihatnya kemarin.

Desa yang sangat indah, dipenuhi dengan warna-warni, seperti pelangi. Sekalipun Jaune belum juga menemukan satupun penghuni desa itu.

Karena itulah hari ini Jaune bertekad untuk menemukan mereka. Jika desa Volk masih saja sepi seperti kemarin, ia akan mencari mereka ke manapun juga. Ia bahkan akan memeriksa setiap sudut desa itu jika memang diperlukan.

Jaune mendaratkan kakinya di atas sebatang pohon. Pohon itu bentuknya seperti pohon pisang, namun berwarna merah. Bukan pisang yang tumbuh pada pohon itu, melainkan buah berwarna merah yang dipenuhi dengan rambut di sekelilingnya.

Ia memutuskan untuk tetap menunggu di atas pohon dan memperhatikan keadaan di bawah dari atas pohon itu. Dan belum juga ada satupun penghuni yang dilihatnya.

Karena terlalu lama menunggu, Jaune pun tertidur.

Namun segera terbangun, karena merasakan pohon tempatnya singgah tiba-tiba saja bergetar. Ia membuka matanya cepat-cepat dan menyadarkan diri dari tidurnya.

Pohon itu bergetar semakin kuat.

Jaune berdiri, kemudian terbang ke bagian teratas atas pohon itu. Dilihatnya apa yang tengah terjadi. Apa yang tengah mengganggu tidurnya.

Tahulah ia kemudian.

Di bawah sana ada seseorang yang tengah menggoyang-goyangkan pohon itu hingga buah-buahnya berjatuhan. Ia pun mencoba menggoyangkannya lebih keras lagi karena buah yang jatuh hanya sedikit. Dan semakin banyaklah buah yang didapatnya.

Orang itu memasukkan buah-buah yang berjatuhan ke dalam keranjang besar. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia berjalan menuju pohon berwarna hitam, tak jauh dari situ.

Hal yang sama dilakukannya pada pohon itu. Namun kali ini, buah yang jatuh tidak seperti buah yang didapat sebelumnya. Buahnya hanya satu dan besar sekali. Buah berwarna abu-abu besar dengan kulit yang menyerupai kulit landak. Dimasukkannya juga buah itu ke dalam keranjang dengan hati-hati.

Setelah memasukkan buah itu ke dalam keranjang, ia tidak lagi menghampiri pohon lain. Ia berjalan menuju buah mangga raksasa yang terletak di bagian tengah desa. Di sana, sudah banyak orang lain yang menunggu kedatangannya.

Senyum Jaune melebar.

Ternyata, inilah kaum Volk yang ingin ditemuinya.

Mereka semua bertubuh kecil, tidak seperti manusia-manusia yang pernah dilihat Jaune. Mereka mempunyai sepasang tangan dan kaki, sama seperti manusia biasa. Hanya saja, jari yang dipunyai hanya empat untuk masing-masing tangan maupun kaki. Cara mereka berjalan juga sama saja dengan manusia lainnya.

Kulit mereka berwarna coklat. Seperti ukuran tubuh mereka, hidung yang dimiliki pun berukuran kecil. Mereka memiliki mata hitam besar yang menonjol ke luar. Lengkungan di bibir membuat mereka tampak selalu tersenyum. Wajah mereka berkerut-kerut, dan demikian mirip antara satu dengan lainnya.

Namun, sekalipun memiliki kemiripan yang amat sangat pada wajah, mereka tetap memiliki hal-hal yang membuat Jaune bisa membedakan antara Volk yang satu dengan yang lain.

Kaum Volk memiliki rambut yang panjang dan berbentuk tegak ke atas, sehingga terlihat sangat kaku. Rambut mereka warna-warni. Ada yang memiliki warna kuning, ada yang biru, ada yang merah, ada yang hijau, dan berbagai warna lainnya. Sekalipun rambut mereka sama-sama berwarna kuning, kadar kepekatan warnanya tetap berbeda. Dari sinilah Jaune bisa melihat perbedaannya.

Pakaian yang mereka kenakan pun sangat unik. Yang pria hanya mengenakan bawahan berbentuk rok, yang sewarna dengan rambut mereka. Mereka juga mengenakan perhiasan sejenis perak, yang berbentuk matahari, di pangkal lengan mereka.

Sedangkan yang wanita terlihat lebih manis. Mereka mengenakan terusan sebatas lutut tanpa lengan, yang juga sewarna dengan rambut mereka. Mereka juga mengenakan perhiasan, yakni cincin dan gelang. Rambut mereka kadang dihias mahkota bunga berwarna-warni yang sangat indah.

Semua kaum Volk mengenakan sepatu dari kulit yang lagi-lagi sewarna dengan rambut dan pakaian mereka.

Sedangkan, anak-anak yang lebih kecil mengenakan pakaian yang serupa lilitan kain saja di sekujur tubuh mereka. Namun, kali ini semua berwarna putih, tidak sama dengan warna rambut mereka. Mereka juga tidak mengenakan sepatu atau perhiasan apapun.

Jaune memperhatikan mereka dengan seksama. Mereka tampak sangat kecil dan sangat menarik. Bahkan, jika dibandingkan dengan tubuh Jaune, mereka masih tampak lebih kecil lagi.

“Mereka semua tampak gembira. Lalu, ada masalah apa? Mengapa aku harus membantu mereka? Mereka kelihatan baik-baik saja?!” kata Jaune dalam hati.

18 Teman Baru untuk Bertugas

Sunday, January 14, 2007

“Tapi... kata Ayah tugasku sudah dimulai hari ini.”

“Selalu begitu. Ayah selalu mengatakan hal yang sama kepada semua malaikat baru. Tapi maksud Ayah sebenarnya adalah bahwa kau memang sudah seharusnya berkeliling lebih dulu.”

“Kenapa?”

“Agar kau tahu seperti apa keadaan di bumi, lalu menemukan tempat di mana kau akan bertugas. Dan aku yakin, kau sudah menemukannya, kan?!”

“Aku tidak tahu apakah tempat itu yang kau maksud. Tapi aku sudah menemukan satu desa, yang indaaaahhhh...sekali.”

“Memang itu maksudku. Coba katakan, seperti apa desa itu.”

“Semuanya penuh dengan warna-warni, tidak seperti tempat lain di bumi. Desa itu tidak terlalu besar, tapi ada puri dan air terjunnya.”

Nero tersenyum, “Coba kutebak. Pasti air terjunnya berwarna-warni, juga rumah penduduk, dan semua tanamannya. Dan yang pasti, ada mangga raksasa berwarna hijau yang lucu di dekat dengan sungai dan air terjun.”

Jaune membelalakkan matanya dan segera bangun. Ia tidak menduga bahwa Nero bisa menceritakan apa yang memang dilihatnya tadi.

“Kau tahu desa itu?”

”Tentu saja. Desa kaum Volk, kan?!”

“Kaum Volk?”

“Ya.”

“Apa itu kaum Volk?”

“Wah... aku tidak akan menceritakannya kepadamu, karena akan menjadi suatu kejutan yang besar untukmu.”

“Kejutan apa lagi?”

“Kejutan yang sangat besar.”

“Kenapa tidak kau katakan saja sekarang, Nero? Tidak akan ada bedanya kan, jika kau menceritakannya sekarang atau nanti?!”

”Jelas berbeda. Akan lebih baik kalau kau mengetahuinya sendiri nanti, daripada harus mendengarnya dariku.”

”Ah, kenapa sih semua senang sekali dengan kejutan?! Kemarin Ayah, hari ini kau, besok siapa lagi?! Tidak bisakah kalian berhenti memberikan kejutan?!”

Nero tertawa, lalu mulai mengepakkan sayapnya, “Kenapa kau tidak menyukainya? Bukankah kejutan-kejutan seperti itu yang membuat hidup kita di sini jadi menyenangkan?!”

“Aku tidak sabar kalau harus menunggu seperti ini, Nero. Aku ingin segera melihatnya. Bisakah aku pergi sekarang saja?!”

“Tentu saja tidak. Tugasmu hari ini sudah berakhir. Dan sekarang giliran malaikat lain yang bertugas.”

Jaune kembali merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia merasa tidak sabar kalau harus menunggu hari ini benar-benar berakhir, sampai besok ia kembali bertugas ke bumi.

“Nero, apakah besok akan ada malaikat lain yang bertugas di desa Volk itu denganku?”

“Tentu saja.”

“Siapa?”

“Zahn.”

“Zahn? Yang sayapnya paling besar itu?”

“Iya.”

“Zahn yang punya rambut panjang itu?”

“Zahn yang mana lagi? Tidak ada Zahn yang lain, Jaune.”

“Hanya dia saja, atau ada malaikat lain lagi yang akan menemani?”

“Acker dan Lufte juga akan menemanimu.”

Jaune menghela napasnya.

Tidak ada satupun dari nama yang disebutkan Nero, dikenalnya. Ia memang pernah mendengar nama mereka, tapi ia tidak pernah dekat dengan mereka, sebagaimana hubungannya dengan Gai dan Gros.

“Mengapa Ayah tidak menugaskan Gai, Gros, atau kau saja untuk menemaniku? Aku kan tidak kenal dengan mereka itu.”

“Jaune, kau tidak akan selalu bertugas denganku, atau Gai, atau Gros, atau bahkan mereka bertiga. Begitu juga semua malaikat yang lain. Mereka akan saling bergantian menemani yang lain. Ayah sudah mengatur semua daftar tugas. Jadi tidak usah khawatir, suatu saat kau juga pasti akan bertugas dengan kami.”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

Nero tersenyum sambil mengangkat bahu, “Hanya Ayah yang tahu, Jaune.”

“Menurutmu, apakah aku akan bisa menjalankan tugasku dengan mereka?”

“Mungkin tidak mudah, karena kau baru akan mengenal mereka besok. Tapi aku yakin, kau pasti bisa.”

“Apakah mereka juga mengenalku?”

Lagi-lagi Jaune tersenyum, “Siapa yang tidak mengenalmu? Jaune, si malaikat kecil berusia enam tahun yang sudah mulai bertugas. Tentu saja mereka mengenalmu! Semua malaikat hadir saat kau diberikan sayap oleh Ayah.”

Jaune mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, Nero. Aku akan bertugas besok.”

“Sekarang tidurlah. Kau akan membutuhkan banyak tenaga untuk tugasmu esok.”

Tapi pada akhirnya, justru Nero yang lebih dulu terlelap.

Jaune masih belum bisa memejamkan matanya sedikitpun. Dadanya terlalu berisik dan berdebar-debar menanti apa yang akan dihadapinya di desa Volk esok hari.

17 Mengecewakan Ayah

Tuesday, January 09, 2007

Jaune tengah duduk di tepi tempat tidurnya dengan gelisah. Sesekali ia duduk, kemudian berdiri dan berjalan mengelilingi kamar. Hal itu dilakukannya berulang-ulang, membuat Nero menjadi pusing karena terus melihatnya.

“Jaune, bisakah kau duduk diam saja?”

Jaune berdiri lagi, lalu berjalan, “Tidak.”

Nero yang semula berbaring pun ikut berdiri, “Aku pusing melihatmu berjalan berputar-putar seperti itu.”

“Ya kalau begitu jangan melihatku!” sahut Jaune ketus.

“Jangan marah begitu. Aku kan tidak bermaksud jahat.”

Jaune menghampiri Nero. Didekatkannya wajahnya dengan wajah Nero, hingga hanya berjarak dua ruas jari saja. Nero yang melihatnya menjadi bingung. Tiba-tiba saja, Jaune menjulurkan lidahnya dan membelalakkan matanya.

Nero hampir saja terjatuh karena terkejutnya.

“Jaune!!! Apa yang kau lakukan???” seru Nero.

Dan saat itu juga, Jaune mengangkat tubuh Nero tinggi-tinggi. Belum hilang rasa terkejutnya akibat juluran lidah dan belalakan mata Jaune, kini ia masih harus merasa terkejut lagi dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu.

Jaune kemudian merebahkan dirinya di atas tempat tidur dengan masih memegang Nero di tangannya.

“Lepaskan aku!” teriak Nero.

Jaune semula mengacuhkannya.

Namun karena melihat Nero yang tampaknya benar-benar kesal, ia pun meletakkan Nero kembali ke atas tempat tidur, di sampingnya.

“Aku bingung, Nero,” katanya kemudian.

“Ceritakanlah padaku.”

“Sepertinya, hari aku telah membuat Ayah merasa kecewa sekali.”

Nero berjalan ke atas kepala Jaune, lalu menjulurkan kepalanya, hingga Jaune dapat melihat wajah Nero dengan jelas, tepat di depan matanya.

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Kau tahu, aku telah gagal hari ini?”

“Gagal?”

“Ya. Aku telah gagal, karena aku tidak melakukan tugasku dengan baik. Aku tidak membantu seorang manusia pun hari ini. Dan Ayah pasti kecewa karenanya.”

“Tidak. Bukan begitu. Ayah tidak pernah merasa kecewa jika ada malaikat yang gagal melakukan tugasnya. Terlebih lagi, kau kan malaikat baru. Jadi, kalau kau bingung, ya itu wajar saja.”

“Iya, memang. Aku bingung sekali. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Kau bukan malaikat pertama yang merasa begitu, Jaune. Ketika Gai dan Gros pertama kali bertugas, mereka juga sama saja sepertimu. Mereka juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.”

“Lalu, bagaimana?”

“Mereka terus mencoba, sampai akhirnya berhasil mengalahkan musuh mereka.”

“Tapi kan usia mereka sudah lebih tua dariku saat itu. Pasti tidak sulit bagi mereka untuk mengerti. Mungkin Ayah telah salah karena memberiku sayap ini saat aku berulang tahun kemarin.”

Nero tersenyum, “Ayah tidak mungkin melakukan kesalahan. Ayah selalu mengambil keputusan dengan tepat. Kalau Ayah memberimu sayap saat usiamu enam tahun, berarti Ayah sangat mempercayaimu. Ayah tahu bahwa kau dapat melakukan tugasmu dengan baik, bahkan mungkin lebih baik daripada semua malaikat di sini.”

Jaune menghela napasnya.

“Mana mungkin. Akulah satu-satunya malaikat yang tidak bisa berbuat apa-apa sampai sekarang. Dan lagipula, aku adalah malaikat terkecil.”

“Jaune, menjadi yang paling muda bukan berarti menjadi yang paling tidak berdaya. Bukan berarti malaikat-malaikat lain selalu melakukan tugasnya lebih baik daripada kau. Bukan berarti mereka yang lebih berpengalaman selalu berhasil menyelesaikan semua masalah dengan baik. Kaulah yang bisa melakukannya.”

“Aku?” tanya Jaune heran, “Aku bisa menjadi lebih baik dari mereka? Kau ini ada-ada saja.”

“Apa yang salah dengan itu?! Dengar, selama ini, jika Ayah memberikan sayap kepada malaikat-malaikat baru yang belum mencapai sepuluh tahun, itu artinya bahwa malaikat itu adalah malaikat yang istimewa. Dan kaulah yang paling istimewa bagi Ayah.”

“Mengapa aku?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa selama ini belum pernah ada yang diberi sayap pada usia enam tahun.”

“Jika aku memang istimewa, mengapa aku tidak dapat menyelesaikan tugasku hari ini? Mengapa aku bahkan tidak menemukan manusia satu pun?”

“Karena besoklah hari pertamamu.”

“Tidak! Hari pertamaku adalah hari ini. Ayah sendiri yang mengatakannya kepadaku.”

Nero tersenyum lagi, “Hari ini memang hari pertamamu turun ke bumi. Tapi, hari ini bukan hari pertamamu bertugas.”