22 Kaisar Ayah

Wednesday, April 04, 2007

“Nikolai...” Jaune tampak berpikir sejenak, “Kedengarannya lebih pas,” lanjutnya lagi, membuat Kaisar tertawa untuk yang kedua kalinya.

“Tapi terlalu panjang kalau aku harus memanggilmu Kaisar Nikolai. Bolehkah aku memanggilmu Nikolai saja?”

Kaisar tertawa, “Sebaiknya kau tetap memanggilku Kaisar Nikolai.”

“Iya, kurasa juga begitu. Atau pengawalmu tadi pasti akan menangkapku, ‘kan?!”

Kaisar tersenyum, “Kau memang pandai, Jaune.”

Jaune terbelalak mendengarnya, “Dari mana kau… eh, Kaisar tahu namaku?”

Lagi-lagi ia terlah membuat Kaisar tertawa, “Tentu saja aku tahu namamu. Aku sudah hidup denganmu sejak kau dilahirkan.”

Jaune semakin tidak mengerti.

Seketika itu, sosok Kaisar Nikolai di hadapannya berubah menjadi sosok yang ia kenal dengan baik, dengan sangat baik.

“Ayah?!”

Ayah tersenyum, sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Jaune, “Ayah khawatir padamu, Jaune.”

“Ah, Ayah. Ayah selalu begitu! Aku tidak apa-apa. Ayah tidak perlu berpura-pura menjadi Kaisar untuk mengikutiku. Jika Ayah memang tidak mengijinkan aku pergi, sebaiknya Ayah mengantar aku pulang saja,” kata Jaune kesal.

“Bukan itu maksud Ayah, Jaune. Ayah hanya ingin mengetahui keadaanmu.”

“Ayah ‘kan bisa melihat dari layar-layar besar di kamar Ayah itu, tidak perlu datang ke sini.”

Ayah menghampiri Jaune, bermaksud memeluknya, “Ssttt… kalau bicaramu sekeras ini, penjaga di depan pintu akan datang dan membawamu keluar dari sini.”

Jaune berjalan menjauh dengan wajah cemberut, “Kalau begitu, katakan! Untuk apa Ayah datang ke sini?”

“Baiklah…” kata Ayah seraya menghela napasnya, “Ayah hanya ingin tahu, seberapa baik kau menjalankan tugasmu.”

“Aku belum sempat menjalankan tugasku, itu karena Ayah datang. Kalau saja Ayah tidak datang, mungkin aku sudah menolong salah satu dari mereka.”

“Mungkin, tapi mungkin juga tidak.”

Jaune semakin kesal mendengarnya.

“Jaune, tampaknya kau harus memikirkan lebih baik lagi alasanmu ada di sini. Dan bukan dengan alasan yang kau katakan kepada Ayah tadi,” kata Ayah.

Jaune membelalakkan matanya, “Apa maksud Ayah?”

“Maksud Ayah, pikirkanlah lagi alasan mengapa kau bisa ada di negeri ini. Kaisar Nikolai tidak akan mempercayai apa yang kau katakan. Jaune, ia adalah orang terpandai di negeri Volk.”

Wajah Jaune tiba-tiba berubah khawatir, “Lalu, apa yang harus kukatakan kepadanya?”

“Katakan bahwa orangtuamu yang membawamu ke sini untuk bermain. Mungkin mereka akan menjemput beberapa hari lagi. Mungkin Kaisar akan lebih mempercayainya.”

“Dia orang yang baik ya, Ayah?”

“Sangat baik.”

Dada Jaune berdegup kencang. Ia takut dan khawatir bahwa Kaisar Nikolai tidak akan mempercayainya. Namun di saat yang sama juga demikian tidak sabarnya untuk bertemu dengan Kaisar yang sesungguhnya.

“Ayah, di mana Kaisar Nikolai sekarang?”

“Dia sedang dalam perjalanan pulang dari negeri lain. Sesaat lagi dia akan tiba.”

“Wah… aku harus segera keluar dari sini, kalau begitu.”

Ayah menganggukkan kepala.

“Tapi Ayah, apakah dia akan mengetahui bahwa aku bukan penduduk negeri ini?”

“Tentu saja. Dia pasti akan datang menghampirimu, dan menanyakan kedatanganmu di sini, seperti yang Ayah lakukan tadi.”

Jaune menghela napasnya. Tetap tidak bisa menghentikan detak jantungnya yang semakin cepat.

“Baiklah. Aku harus menyiapkan apa yang harus kukatakan padanya.”

Ayah tersenyum. Lalu, segera menghilang dari hadapan Jaune.