23 Menginap di Istana

Thursday, April 12, 2007

BENAR saja apa yang dikatakan Ayah. Saat Jaune tengah bermain di taman bersama dengan anak-anak lainnya, Kaisar Nikolai yang sesungguhnya datang menghampiri.

“Siapa kau? Aku belum pernah melihatmu.”

Jaune segera berdiri, “Aku Dominic, Kaisar. Aku memang baru saja datang bersama dengan orangtuaku.”

Kaisar Nikolai menganggukkan kepala, “Pantas saja. Kalau begitu, bagaimana jika kau ikut ke istanaku? Kita bisa berbicara lebih banyak di sana.”

Jaune mengangguk-angguk dengan senang sekali, “Tentu saja, Kaisar.”

Mereka pun berjalan menuju ke istana.

Hal yang sama kembali terjadi di dalam istana. Semuanya sama seperti yang terjadi saat Kaisar Nikolai ‘palsu’ mengajak Jaune ke dalam istana. Ada penghormatan yang luar biasa, ada saat di mana mereka berjalan di lorong hijau itu, namun yang berbeda, kini Kaisar Nikolai ‘asli’ mengajaknya untuk berbicara di ruang makan.

Lagi-lagi, kekaguman Jaune yang luar biasa saat melihat ruang makan itu. Sekali lagi, ruangan yang penuh dengan warna-warni.

“Maukah kau makan siang bersamaku di sini?” tanya Kaisar.

Jaune mengangguk dengan cepat.

Kaisar tertawa, geli melihat wajah Jaune, “Baiklah.”

Ia mengangkat tangannya, meminta seseorang menghampiri mereka. Setelah membisikkan sesuatu di telinga orang itu, ia membiarkannya pergi.

“Nah, makanan sedang disiapkan,” kata Kaisar, “Lalu, di mana orangtuamu, Dominic?”

“Woody, Kaisar.”

Kaisar Nikolai mengerutkan dahinya, “Woody?”

“Iya, namaku memang Dominic, namun semua orang memanggilku Woody.”

“Oh ya? Nama panggilan yang bagus, Woody,” Kaisar tertawa, “Jadi, di mana orangtuamu?” lanjutnya lagi.

“Ayah sedang pergi.”

“Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu nama Ayahmu?”

“Tentu saja tidak, Kaisar. Ayahku bernama Sabato.”

Kaisar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti, “Oh, rupanya kau anak Sabato! Ya… dia memang sedang pergi ke negeri seberang. Ia akan bekerja di sana untuk beberapa lama,” Kaisar mengernyitkan dahinya, “Tapi, aku tidak tahu bahwa Sabato memiliki seorang anak secantik kau.”

Jaune tersipu, “Ayah tidak pernah menceritakan tentang aku kepada Kaisar?”

“Tidak.”

“Aku tinggal bersama kakek dan nenek di negeri seberang. Tapi ayah sering sekali menceritakan kalau di sini banyak sekali anak-anak seperti aku. Jadi aku ingin sekali datang ke sini, dan akhirnya ayah mengantarku,” kata Jaune.

“Lalu ibumu, siapakah dia? Aku juga tidak tahu bahwa Sabato sudah menikah.”

Jaune menundukkan kepalanya, “Mmm… Aku juga tidak tahu siapa ibuku, Kaisar. Kata ayah, ibu meninggal saat melahirkan aku.”

“Oh, maafkan aku.”

Jaune hanya mengangguk sambil tersenyum saja.

“Lalu, untuk apa kau datang ke sini?”

Jaune tidak segera menjawab.

“Ayah masih sibuk di sana. Kakek dan nenek juga masih sibuk bekerja. Aku yang ingin datang ke sini agar bisa bertemu teman-teman. Ayah juga setuju. Kata ayah, semua orang di sini mengenalnya, jadi aku tidak perlu khawatir.”

“Tentu saja kami semua mengenal ayahmu. Sabato adalah orang yang sangat baik.”

Jaune tersenyum bangga. Merasa seolah-olah memang Ayah-lah yang sedang dipuji oleh Kaisar Nikolai.

“Kenapa kau tidak tinggal di sini saja?” lanjut Kaisar tiba-tiba.

“Aku ingin sekali, Kaisar. Tapi ayah ‘kan tidak punya rumah di sini.”

“Tinggallah di istana.”